Selasa, 27 Februari 2018

Perempuan Kurus Itu

Ibu-ibu kompleks mulai berdatangan bersamaan dengan bu Polan yang sedang menggelar dagangannya. Pagi itu seperti biasa aneka sayur mentah, ikan segar, ayam dan aneka bahan masakan lainnya dijajakan bu Polan di depan rumahnya. Aku yang terbilang jarang belanja di kedai, hari itu ikut meramaikan kedai bu Polan. Beberapa sayur dan ikan mulai kupilih untuk menu masakanku hari ini. 

Kulihat, ada seorang perempuan kurus menggendong bayi, terlihat pendiam dan enggan turut serta meramaikan kedai tersebut. Hanya satu untai bayam dan 2 bungkus tempe dia tenteng lalu didekatinya bu Polan.

Sambil berbisik perempuan kurus itu berucap, "bu... saya hutang lagi ya... saya nggak punya uang".

"Ah.... kau!!!! udah numpuk hutang kau ya.... ", gerutu bu Polan, "makanya punya laki yang bener!"

Tertunduk malu perempuan kurus itu sambil menggendong bayi 2 bulan yang sepertinya sedang gelisah minta susu.

Aku yang saat itu masih memilih beberapa sayur dan ikan, terperanjat mendengar bentakan bu Polan. Kulihat perempuan kurus itu tertunduk malu karena semua orang menatapnya. Dia meletakkan bayam dan tempe ketempatnya lagi, lalu berlalu meninggalkan kedai dengan tangan kosong. 

Tak lama setelah dia pergi, aku juga membayar beberapa belanjaan. Sambil menenteng belanjaanku, aku pun berlalu meninggalkan kedai. Sepintas kudengar bisik-bisik para ibu mengomentari perempuan kurus itu dengan pandangan miring. 

Aku berjalan menuju rumahku. Tepat di ujung jalan berbelok terlihat perempuan kurus itu sedang duduk gelisah di sebuah rumah kosong. Sepertinya dia kelelahan berjalan dan ingin istirahat sebentar disitu. Kudengar bayi digendongannya menangis tiada henti. Dia berusaha untuk terus menyusui bayinya, namun sepertinya tak kunjung kenyang. 

Aku yang saat itu merasa iba melihat kondisinya, kucoba untuk mendekati.

"Anak kakak sepertinya laper ya... kakak sendiri sudah makan?" Sapaku padanya.

Dia mendongak dan melihatku. Tiba-tiba kulihat airmata mengalir dipipinya. 

"Kak... kak... kakak nggak papa?", aku bingung saat itu harus berbuat apa. Lalu aku duduk disampingnya. Mencoba untuk menenangkannya.

"Aku nggak bisa masak lagi kak... sudah nggak dikasih ngutang lagi aku kak sama bu Polan", isaknya.

"Sabar ya kak...." hiburku kala itu. "Jadi pagi ini kakak belum makan?"

"Belum kak".

Terdiam lama kuperhatikan perempuan kurus itu sambil terus berusaha menyusui bayi yang ada digendongannya.

"Kami sudah 2 hari ini makan cuma pake kerupuk saja kak", ceritanya kemudian, "Laki ku udah nggak pulang 2 hari".

"Kemana suami kakak rupanya?"

Terdiam dia. Sepertinya ada keengganan dimulutnya untuk mengatakan yang sebenarnya. Langsung aku alihkan pembicaraan agar dia tidak merasa sedih lagi.

"Anak kakak berapa?"

"6 kak... ini yang terkecil".

"Banyak ya... jadi mereka semua juga pada belum makan pagi ini?"

Terangguk dia lalu terdiam lagi aku dibuatnya. Aku merasa ada beban dipikirannya yang ingin rasanya dia keluarkan. Setelah beberapa menit kami membisu, dia lalu bertanya.

"Kakak orang sini?" 

"Nggak kak... aku cuma main kerumah uwakku. Itu rumah uwakku", kutunjuk asal saja salah satu rumah yang ada dideretan kompleks perumahan tipe 36 itu. Entah mengapa aku langsung berbohong kalau aku bukan orang kompleks situ.

Lalu perempuan kurus itu bercerita, "aku nyewa kak disini. Udah 6 bulan kami tinggal di kompleks ini", kemudian dia melepaskan nenen bayinya karena dilihatnya sudah tertidur lelap karena kecapekan. 

"Aku ketemu bang Ronal di kafe kak. Aku dulu penyanyi kafe. Entah mengapa tiba-tiba aku langsung jatuh cinta begitu saja dengan bang Ronal. Lalu kami menikah".

"oooo...."

"Aku tahu bang Ronal tak ada kerjanya kak. Dia datang ke kafe cuma mau minum sama karaokean saja kak. Tapi aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya".

"Terus sekarang suami kakak kerja apa buat ngasih makan anak-anak kakak?" tanyaku.

"Itulah kak.... aku malu sebenarnya mau cerita ke kakak. Tapi karena kakak bukan orang sini... bolehlah kuceritakan ini".

Aku terus berusaha mendengarkan semua ceritanya.

"Lakiku maling kak.... "

"Oww....", tiba-tiba aku terhenyak. Teringat 2 bulan lalu aku begitu kesal dan emosi karena rumahku baru saja kemalingan. TV LCD ku lenyap digondol maling.

"Tapi sekarang lakiku sudah 2 hari nggak pulang kak. Dia ketangkap Polisi. Dia dikeroyok warga saat dia maling di kompleks Puri Asri", sambil terus dia meneteskan air mata, "tangan kanannya dipotong warga kak", tak kuat lagi sepertinya dia bercerita.

Aku pun yang saat itu masih shock dengan kondisiku sendiri mendengar kabar kalau suaminya adalah maling, mencoba untuk terus menghiburnya. "Sabar ya kak.... semua ini pasti ada hikmahnya". Sambil kukeluarkan sapu tangan lalu kuberikan padanya. Berharap dapat sedikit membantu beban yang ada dipundaknya. 

"Terima kasih ya kak. Aku malu sebenarnya cerita ini semua ke kakak. 2 bulan lalu lakiku pernah nyuri TV kak.... dibelakang rumah kami. Saat itu kami betul-betul tak punya uang kak. Anak-anakku nangis kelaparan semua. Kami bingung kak". 

"Ohhh.... ", lemasku kala itu. "rumah kakak nomor berapa rupanya?" tanyaku lalu.

"Blok F No. 8", jawabnya.

"Ohhh...." Itu rumah tepat dibelakang rumahku. Aku yang saat itu masih belum bisa terima dengan kehilangan TV LCD ku terasa begitu berkecamuk. Antara sedih, kesal dan kasihan.

"Terus apa yang kakak akan lakukan sekarang?"

"Nggak tahu kak. aku bingung. Anakku banyak. Lakiku di penjara. Aku nggak bisa ngasih makan anak-anakku lagi kak".

Kami berdua terdiam. Masing-masing dengan pikirannya sendiri-sendiri. Kukeluarkan selembar uang seratus ribu pemberian suamiku yang rencananya akan aku belikan susu untuk anakku.

"Terimalah ini kak... maaf aku nggak bisa banyak bantu. Semoga kakak hari ini bisa masak buat anak-anak kakak".

"Ohh... nggak usah kak... aku nggak ada maksud untuk minta uang ke kakak", tolaknya dengan halus.

"Nggak papa kak. Cuma ini yang bisa aku bantu buat kakak. Terimalah ini kak".

"Terima kasih kak.... maaf aku merepotkan", senyum sendu terlihat bahagia diwajahnya. Diciuminya bayi yang ada digendongannya sambil berbisik, "kita bisa makan hari ini nak...."

Lalu kami berpisah. Dia kembali ke kedai untuk membelanjakan uangnya. Dan setelah kulihat dia berlalu, baru aku pulang menuju rumahku. 2 hari kemudian kudengar perempuan kurus beserta ke-6 anaknya itu tak lagi tinggal di belakang rumahku. Entah pindah kemana akupun tak tahu. 

(Dok. Searching Google)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar