Gani. Seingatku itulah namanya. Anak laki-laki kecil yang setiap hari kulihat berjalan melintasi hutan kampus menuju fakultasku. Tanpa alas kaki, baju lusuh dan muka melas. Begitulah Gani setiap harinya. Setiap pukul 10.00 pagi sampai sekitar pukul 16.00 kulihat dia dengan 2 atau 3 teman lainnya mulai berpencar dan memulai aktivitasnya untuk meminta-minta. Kantin adalah tempat yang paling sering mereka kunjungi. Disitu banyak sekali mahasiswa yang menghabiskan waktu siangnya untuk makan siang dan istirahat.
Saat itu tidak ada aturan dari kampus yang melarang para peminta-minta masuk di area kampus. Atau mungkin sudah ada namun aturan itu tidak terlalu diberlakukan, entahlah aku tidak terlalu paham dengan itu, yang jelas saat itu aku melihat mereka berlalu lalang. Aku yang saat itu bisa dibilang seumur jagung tinggal di Jakarta, merasa iba melihat Gani dan teman-temannya dengan muka melas mereka, kukeluarkan recehan dikantongku, kuberikan kepadanya. Setelah dia berlalu, salah satu temanku membisiku.
"Lihat... disebelah sana. Lu lihat kan? Laki-laki berjaket jeans dengan celana hitam itu?", bisik temanku.
"Iya... gue lihat", jawabku.
"Dia itu bos nya Gani. Jadi percuma lu ngasih uang itu sama Gani. Uang itu bakal disetorkannya pada lelaki itu", aku terperanjat dengan bisikan temanku. "Lain kali kalo lu kasian sama Gani, lu ajak duduk aja dia, lu traktir makan. Kenyang deh Gani. Pasti melongo tu lelaki disana".
Aku tak habis pikir saat itu. Bisa-bisanya seorang pengemis saja harus dimandorin seperti kuli bangunan. Itulah Jakarta, dan aku baru tahu itu.
Pernah suatu ketika juga, saat aku sedang menunggu bus kampus di halte Fakultas Ilmu Budaya seorang diri. Ada seorang ibu paruh baya mendatangiku dengan wajah melas.
"Nak... lagi nunggu bus ya?" tanya ibu itu.
"Iya bu", jawabku.
"Gini nak, aku punya anak yang lagi kuliah di Kedokteran, Salemba. Aku sudah rindu sama dia. Aku ingin kesana, tapi aku tak ada ongkos nak. Boleh nggak ibu pinjem 50.000 besok ibu pulangin".
Dengan polosnya kujawab, "Nggak ada bu kalau 50.000. Tapi aku punya 10.000. Kayanya cukup lah bu untuk ongkos naik KRL ke Salemba", jawabku.
"Ya udah nggak papa nak. Beneran besok saya pulangin kok".
"Iya bu nggak papa", kukeluarkan uangku, kuberikan ke ibu itu dan berlalulah dia. Tak banyak yang bisa aku analisa dari kejadian itu. Tanpa kusadari ternyata ada salah seorang temanku yang sedari tadi memperhatikanku. Lalu setelah ibu itu pergi, dia menghampiriku.
"Churma, besok-besok lagi jangan lu kasih ya kalau ada Ibu-ibu kaya tadi", Aku masih diam dan bingung. Emang salah ya sikapku Tadi. "Dia itu penipu. Coba deh lu perhatiin, masak iya anaknya kuliah di Kedokteran penampilannya kayak gitu". Iya juga, pikirku. "Yuk... kita jalan ke balhut (balik hutan) yuk", ajak temanku.
"Lihat tu.... ibu itu lagi ngobrol sama mahasiswa lain kan? sama modusnya kaya lu tadi", spontan aku langsung merasa kesal karena telah tertipu. Aku yang sudah dengan niat tulus ikhlas, ternyata kena modus penipuan. Entah mengapa setelah kejadian itu, aku begitu tidak simpati lagi dengan para peminta-minta. Aku langsung acuh ketika didatangi oleh mereka.
Semakin lama aku tinggal di Jakarta, semakin sering aku melihat modus-modus pengemis di jalanan. Namun, satu kejadian yang membuat hatiku tersayat saat itu, ketika pernah aku masuk di sebuah KRL. Saat itu pukul 10.00 pagi yang berarti kondisi KRL sedikit lengang, namun masih terbilang padat. Entah mengapa, saat itu aku kebagian tempat di gerbong paling belakang. Ketika aku masuk ke gerbong tersebut, aku lihat sekelilingku banyak sekali anak kecil (usia SD), ibu-ibu berpakaian lusuh dengan menggendong bayi dan ada juga yang sedang menggandeng anak kecil.
Semakin aku dikejutkan dengan 2 lelaki berbadan besar yang sedang menceramahi mereka. Aku lirik sesekali. Ternyata lelaki itu juga menatapku. Aku sangat ketakutan. Itukah bos mereka? Ya Allah, jumlah pengemis itu banyak sekali dan mereka semua harus tunduk pada perintah 2 lelaki itu. Ya Allah, kasihan sekali anak-anak dan ibu-ibu itu. Aku yang tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa berdiri diam sambil menunggu stasiun tujuanku.
Saat sampai di stasiun aku segera turun, membeli air mineral, dan duduk sejenak. Shock rasa hati ini. Entah apa yang aku rasakan. Sedih, takut dan kesal rasanya. Kejam sekali kota ini.
(dok. Searching Google)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar