Rian: “Hei lara.... apa
kabar? aku Rian. masih ingat aku nggak?”
tersentak aku tiba-tiba membaca sms di handphone. Rian. Itulah
namanya. Dia adalah salah satu teman baik yang aku kenal pada sebuah ekstrakurikuler
tambahan di luar sekolahku dulu. Sudah terasa lama aku meninggalkan kota
kelahiranku untuk melanjutkan kuliah di kota ini. ya.. 4 tahun sudah aku
mengenal Rian, dan terasa sudah begitu lama.
Lara: “Hei Rian... kbr
baik. Ingat? pastinya dong. mana mungkin aku lupa”
Rian: “Wahhh...
senangnya kamu masih mengingat aku Lara. Bagaimana kuliah disana? pasti kamu
betah ya”
Hujan gerimis diluar membuat aku malas beranjak dari kursi
tempat aku duduk. Sms Rian untuk sementara aku abaikan saja. Malam itu aku
begitu menikmati santapan nasi goreng yang dibuat oleh Mbak Mun, pemilik kantin
asrama.
Tiba-tiba datang sms lainnya dari Yudi.
Yudi: “Lara please.
Balas dong sms ku. kamu tak seharusnya memutuskan sepihak hubungan kita.
seharusnya kamu memberikan kesempatan untuk aku bisa menjelaskan semuanya.
Please lara. jangan pergi begitu saja”
Terasa ingin marah saja aku dibuat oleh sms itu. Aku heran.
Tak ada menyerahnya laki-laki satu ini. Sudah berapa kali kukatakan, aku tak
bisa lagi melanjutkan hubungan ini. Aku sudah tidak bisa mencintai Yudi lagi.
2 tahun sudah aku menjalin hubungan dengannya. Awalnya
begitu menyenangkan. Namun lama kelamaan, Yudi mulai seenaknya mengatur
kehidupanku. Aku dilarang lagi mengenakan celana jeans, dengan alasan wanita
anggun seharusnya mengenakan rok, aku dilarang menguncir rambutku karena
terlihat kampungan, aku diharuskan keluar dari Mapala dengan alasan tidak
seharusnya wanita berada disitu. Yah... Yudi berusaha untuk menguasaiku
sepenuhnya dan menjauhkan aku dari teman-temanku. Setidaknya itu yang aku
rasakan.
Dan aku masih sangat marah dengan Yudi. Buatku... tak ada
gunanya aku membalas sms itu. Begitu juga dengan Rian. Aku terlupa untuk membalas
sms Rian malam itu. Aku hanya ingin menikmati kesendirianku dengan sepiring
nasi goreng. Thanks Mbak Mun.
1 bulan kemudian liburan semester
tiba. Banyak teman-teman asrama yang memutuskan untuk pulang kampung. Begitu
juga denganku. Meskipun tak ada rencana apapun untuk bisa aku lakukan dikampung
halamanku selain tentunya bertemu dengan bapak ibuku, namun aku harus tetap
pulang.
Seperti biasa, aku langsung menuju
ke stasiun Kota untuk memesan tiket dan menunggu kereta datang. 12 jam adalah
waktu yang sangat panjang untuk perjalanan menuju kampung halamanku. 12 jam
adalah waktu yang cukup lama untuk kegiatan yang hanya duduk-duduk termenung
seorang diri. Tertidur... terbangun... makan... tidur lagi... terbangun...
sudah cukup melelahkan buatku.
Kebahagiaan tersendiri aku bisa sampai
di rumah. Setelah beramah tamah dengan keluarga, tiba-tiba aku teringat kembali
dengan Rian.
Lara: “Rian... apa kabar? maaf baru memberimu kabar sekarang.
Kemarin-kemarin aku sangat disibukkan dengan tugas-tugas UAS”
Rian: “hei lara. kabar baik. iya nggak papa kok aku paham dengan kondisimu”
Lara: “Ngomong-ngomong... Rian dmn posisi skrng? aku lagi pulkam nih”
Rian: “Really? eemmm.. aku masih kerja nih. Sampai kapan kamu pulang?”
Lara: “aku cuma seminggu di rumah. Minggu besok sudah harus balik kampus”
Rian: “Oh... cepet banget. bisa kita jumpa Lara?”
Tersentak aku dengan sms barusan.
Aku bingung harus mengatakan apa. Aku tahu dari SMA Rian sudah menunjukkan
tanda-tanda menyukaiku. Dan aku selalu menghindarinya. Aku bingung dengan
perasaanku saat itu. Aku hanya menunggu orang lain yang tak kunjung datang, dan
aku mengabaikan Rian. Aku hanya memberikan harapan-harapan kosong padanya.
Dan sekarang, aku masih saja
bingung dengan perasaanku. Mampukah aku membuka diri setelah beberapa bulan
lalu aku putus dengan Yudi?
Lara: “maaf tadi masih antar ibu kepasar. kapan Rian pulang?”
Rian: “mungkin sabtu sore baru bisa pulang Lara. Malamlah baru sampai rumah”
Lara: “ya udah minggu pagi aja kita jumpa. tapi siangnya aku harus balik ya.
keretaku jam 14.00”
Rian: “oke. sampai ketemu minggu pagi ya”
Aku cemas. Benarkah keputusanku?
aku tahu Rian masih sangat mengharapkanku. Namun bagaimana dengan perasaanku?
aku hanya ingin mencoba membuka hatiku untuk Rian. Aku berharap pertemuan kita
nanti dapat menumbuhkan benih-benih cinta yang ada dihatiku. Tak bisa
kupungkiri. Ada terbersit rasa suka juga dihatiku. Namun aku ragu, apakah ini
cinta?
Minggu pagi itu, Rian tidak mengingkari
janjinya. Tepat pukul 08.00 dia datang ke rumahku. Kusambut dengan senang. 4
tahun sudah kita berpisah jarak, namun tak banyak perubahan yang terjadi
diantara kita. Rian masih tetap Rian yang dulu. Kurus, tinggi, tenang, dan
berwibawa. Dia dulunya adalah Pemangku adat di ekstrakurikuler kami. Dan
sepertinya, sisa-sisa karakter pemangku adatnya masih dia bawa sampai sekarang.
Atau setidaknya, Rian membuatku kembali mengenang masa-masa SMA ku dulu.
Lara: “yuk, kita jalan-jalan yuk”
Setelah berpamitan dengan kedua
orang tuaku, kami langsung pergi dengan berkendara motor. Dia masih saja care seperti dulu. Perhatiannya yang
berlebihan terhadapku membuat aku bisa lebih nyaman dan terbuka dengannya.
Kami mengunjungi beberapa tempat
wisata yang ada di kota kami. Kami bercanda sepanjang perjalanan, menceritakan
kejadian-kejadian konyol yang dulu terjadi diantara kami dan teman-teman kami.
Rian: “kamu ingat kan Lara, saat senior menyuruh kita makan ubi mentah?”
Lara: “hahaha... iya iya... aku ingat yan. Kok mau-maunya sih kita
disuruh-suruh kaya gitu?”
Rian: “Ya iyalah ra... tapi kan kita bisa balas dendam juga sama junior-junior
kita”
Lara: “hahhaa... bener-bener. Ingat kan pas Hanan buat nasi komando?”
Rian: “yang akhirnya es campurnya tumpah gara-gara dikejar anjing?”
Lara: “hahahaa.... iya iya... konyol banget tu Hanan”
Terasa hangat obrolan kami minggu
itu sampai tak terasa waktu terus berjalan. Kami menikmati krupuk pecal yang
merupakan ikon kampung halaman kami. Sesekali obrolan kami terasa hening, namun
aku langsung nyerocos bercerita hal-hal lain. Aku tahu Rian ingin mengatakan
sesuatu kepadaku. Namun sepertinya aku belum siap untuk mendengarkan. Kembali
kuceritakan kejadian-kejadian konyol lain saat kami semua masih SMA. Dan Rian
hanya tersenyum sesekali. Namun, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 11.00.
Lara: “Rian... aku harus pulang. Aku harus segera packing Rian”
Rian: “Baiklah...”
Rian: “Oya Lara.. kapan kamu pulang lagi”
Terdiam aku beberapa saat.
Lara: “Aku belum tahu Rian. Mungkin 6 bulan lagi saat libur semester tiba. Tapi
aku pun nggak bisa janji”
Rian: “Oooo.. Boleh aku antar kamu ke stasiun Lara”
Lara: “Dengan senang hati Rian”
Rian: “Tapi aku pulang dulu ya.. masih ada beberapa hal yang harus aku
kerjakan. Kita jumpa di stasiun aja ya Lara?”
Lalu kami berpisah di simpang
jalan rumahku. Aku langsung bergegas mempersiapkan beberapa keperluan untuk aku
bawa kembali ke kota tempat aku kuliah. Aku mandi, berpamitan dan langsung
menuju stasiun. masih ada waktu 2 jam untuk menunggu Rian sebelum keretaku
datang. Aku menunggunya. Aku tersenyum sendiri. Sangat bahagia aku hari ini.
Rian sangat mampu mengobati rasa rinduku akan masa lalu.
Namun, apakah aku jatuh cinta
pada Rian? Itu yang masih menjadi pertanyaanku. Aku nyaman dengan dia. Aku
bebas berekspresi saat bersama dia. Namun apakah aku jatuh cinta? Pertemuan
tadi aku maksudkan untuk menebus kesalahanku di masa lalu karena sering
mengabaikan Rian. Namun apakah aku jatuh cinta?
1 jam sudah aku menunggu Rian,
namun dia tak kunjung juga datang ke stasiun.
Rian: “Lara... masih di stasiun kan?”
5 menit kemudian.
Lara: “Iya Rian"
Rian: "Maaf Lara. Ini masih dijalan. Sebentar lagi aku sampai”
Oke. mungkin 10 menit lagi kita
jumpa dan mungkin itu waktu yang cukup untuk bisa mengobrol lagi dengannya. Dan
tak terasa sudah 45 menit berlalu, namun Rian pun tak kunjung datang. Jujur,
aku tak merasa bersedih dengan itu. Aku hanya kasihan dengan Rian. Sepertinya
dia akan sia-sia sampai ke stasiun karena sebentar lagi keretaku akan datang.
Dan memang benar. Kereta dari arah timur, kini sudah masuk ke stasiun dan akan
membawaku kembali ke kota tempatku kuliah.
Aku masih mencoba untuk
menunggunya.
Dan...
Dan...
Dan akhirnya dia datang. Dia
datang dengan terburu-buru. Aku tak tahu apa yang terjadi selama perjalanannya
menuju stasiun. Tak sempat lagi dia menceritakan semuanya kepadaku.
Rian: “Lara... maafkan aku. Aku terlambat”
Lara: “Nggak papa Rian. Tapi aku harus pergi... bye...”
Lalu aku berjalan menuju arah
gerbong yang menjadi tempat dudukku.
Rian: “Ra....”
Dia memanggil. Aku menoleh. Dan
aku hanya tersenyum.
Lalu aku menaiki gerbong kereta, berdiri
dipintu masuk. Melihat Rian yang hanya berdiri terpaku seorang diri. Terlihat
rasa lelah menyelimutinya. Nafas yang masih terlihat terengah-engah dicobanya
untuk diabaikan sementara. Dan kereta api lambat laun berjalan meninggalkan
stasiun. Rian terlihat semakin mengecil lalu hilang.
Lara: “Maafkan aku Rian, aku sadar ternyata aku belum bisa jatuh cinta
kepadamu”
Rian: “Nggak papa ra...”
Dan setelah itu tak pernah lagi
kudengar kabar darinya. Rian bagai hilang ditelan bumi.