Minggu, 30 September 2018

Rian

Rian: “Hei lara.... apa kabar? aku Rian. masih ingat aku nggak?”

tersentak aku tiba-tiba membaca sms di handphone. Rian. Itulah namanya. Dia adalah salah satu teman baik yang aku kenal pada sebuah ekstrakurikuler tambahan di luar sekolahku dulu. Sudah terasa lama aku meninggalkan kota kelahiranku untuk melanjutkan kuliah di kota ini. ya.. 4 tahun sudah aku mengenal Rian, dan terasa sudah begitu lama.

Lara: “Hei Rian... kbr baik. Ingat? pastinya dong. mana mungkin aku lupa”

Rian: “Wahhh... senangnya kamu masih mengingat aku Lara. Bagaimana kuliah disana? pasti kamu betah ya”

Hujan gerimis diluar membuat aku malas beranjak dari kursi tempat aku duduk. Sms Rian untuk sementara aku abaikan saja. Malam itu aku begitu menikmati santapan nasi goreng yang dibuat oleh Mbak Mun, pemilik kantin asrama.

Tiba-tiba datang sms lainnya dari Yudi.

Yudi: “Lara please. Balas dong sms ku. kamu tak seharusnya memutuskan sepihak hubungan kita. seharusnya kamu memberikan kesempatan untuk aku bisa menjelaskan semuanya. Please lara. jangan pergi begitu saja”

Terasa ingin marah saja aku dibuat oleh sms itu. Aku heran. Tak ada menyerahnya laki-laki satu ini. Sudah berapa kali kukatakan, aku tak bisa lagi melanjutkan hubungan ini. Aku sudah tidak bisa mencintai Yudi lagi.

2 tahun sudah aku menjalin hubungan dengannya. Awalnya begitu menyenangkan. Namun lama kelamaan, Yudi mulai seenaknya mengatur kehidupanku. Aku dilarang lagi mengenakan celana jeans, dengan alasan wanita anggun seharusnya mengenakan rok, aku dilarang menguncir rambutku karena terlihat kampungan, aku diharuskan keluar dari Mapala dengan alasan tidak seharusnya wanita berada disitu. Yah... Yudi berusaha untuk menguasaiku sepenuhnya dan menjauhkan aku dari teman-temanku. Setidaknya itu yang aku rasakan.

Dan aku masih sangat marah dengan Yudi. Buatku... tak ada gunanya aku membalas sms itu. Begitu juga dengan Rian. Aku terlupa untuk membalas sms Rian malam itu. Aku hanya ingin menikmati kesendirianku dengan sepiring nasi goreng. Thanks Mbak Mun.

1 bulan kemudian liburan semester tiba. Banyak teman-teman asrama yang memutuskan untuk pulang kampung. Begitu juga denganku. Meskipun tak ada rencana apapun untuk bisa aku lakukan dikampung halamanku selain tentunya bertemu dengan bapak ibuku, namun aku harus tetap pulang.

Seperti biasa, aku langsung menuju ke stasiun Kota untuk memesan tiket dan menunggu kereta datang. 12 jam adalah waktu yang sangat panjang untuk perjalanan menuju kampung halamanku. 12 jam adalah waktu yang cukup lama untuk kegiatan yang hanya duduk-duduk termenung seorang diri. Tertidur... terbangun... makan... tidur lagi... terbangun... sudah cukup melelahkan buatku.

Kebahagiaan tersendiri aku bisa sampai di rumah. Setelah beramah tamah dengan keluarga, tiba-tiba aku teringat kembali dengan Rian.

Lara: “Rian... apa kabar? maaf baru memberimu kabar sekarang. Kemarin-kemarin aku sangat disibukkan dengan tugas-tugas UAS”

Rian: “hei lara. kabar baik. iya nggak papa kok aku paham dengan kondisimu”

Lara: “Ngomong-ngomong... Rian dmn posisi skrng? aku lagi pulkam nih”

Rian: “Really? eemmm.. aku masih kerja nih. Sampai kapan kamu pulang?”

Lara: “aku cuma seminggu di rumah. Minggu besok sudah harus balik kampus”

Rian: “Oh... cepet banget. bisa kita jumpa Lara?”

Tersentak aku dengan sms barusan. Aku bingung harus mengatakan apa. Aku tahu dari SMA Rian sudah menunjukkan tanda-tanda menyukaiku. Dan aku selalu menghindarinya. Aku bingung dengan perasaanku saat itu. Aku hanya menunggu orang lain yang tak kunjung datang, dan aku mengabaikan Rian. Aku hanya memberikan harapan-harapan kosong padanya.

Dan sekarang, aku masih saja bingung dengan perasaanku. Mampukah aku membuka diri setelah beberapa bulan lalu aku putus dengan Yudi?

Lara: “maaf tadi masih antar ibu kepasar. kapan Rian pulang?”

Rian: “mungkin sabtu sore baru bisa pulang Lara. Malamlah baru sampai rumah”

Lara: “ya udah minggu pagi aja kita jumpa. tapi siangnya aku harus balik ya. keretaku jam 14.00”

Rian: “oke. sampai ketemu minggu pagi ya”

Aku cemas. Benarkah keputusanku? aku tahu Rian masih sangat mengharapkanku. Namun bagaimana dengan perasaanku? aku hanya ingin mencoba membuka hatiku untuk Rian. Aku berharap pertemuan kita nanti dapat menumbuhkan benih-benih cinta yang ada dihatiku. Tak bisa kupungkiri. Ada terbersit rasa suka juga dihatiku. Namun aku ragu, apakah ini cinta?

Minggu pagi itu, Rian tidak mengingkari janjinya. Tepat pukul 08.00 dia datang ke rumahku. Kusambut dengan senang. 4 tahun sudah kita berpisah jarak, namun tak banyak perubahan yang terjadi diantara kita. Rian masih tetap Rian yang dulu. Kurus, tinggi, tenang, dan berwibawa. Dia dulunya adalah Pemangku adat di ekstrakurikuler kami. Dan sepertinya, sisa-sisa karakter pemangku adatnya masih dia bawa sampai sekarang. Atau setidaknya, Rian membuatku kembali mengenang masa-masa SMA ku dulu.

Lara: “yuk, kita jalan-jalan yuk”

Setelah berpamitan dengan kedua orang tuaku, kami langsung pergi dengan berkendara motor. Dia masih saja care seperti dulu. Perhatiannya yang berlebihan terhadapku membuat aku bisa lebih nyaman dan terbuka dengannya.

Kami mengunjungi beberapa tempat wisata yang ada di kota kami. Kami bercanda sepanjang perjalanan, menceritakan kejadian-kejadian konyol yang dulu terjadi diantara kami dan teman-teman kami.

Rian: “kamu ingat kan Lara, saat senior menyuruh kita makan ubi mentah?”

Lara: “hahaha... iya iya... aku ingat yan. Kok mau-maunya sih kita disuruh-suruh kaya gitu?”

Rian: “Ya iyalah ra... tapi kan kita bisa balas dendam juga sama junior-junior kita”

Lara: “hahhaa... bener-bener. Ingat kan pas Hanan buat nasi komando?”

Rian: “yang akhirnya es campurnya tumpah gara-gara dikejar anjing?”

Lara: “hahahaa.... iya iya... konyol banget tu Hanan”

Terasa hangat obrolan kami minggu itu sampai tak terasa waktu terus berjalan. Kami menikmati krupuk pecal yang merupakan ikon kampung halaman kami. Sesekali obrolan kami terasa hening, namun aku langsung nyerocos bercerita hal-hal lain. Aku tahu Rian ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Namun sepertinya aku belum siap untuk mendengarkan. Kembali kuceritakan kejadian-kejadian konyol lain saat kami semua masih SMA. Dan Rian hanya tersenyum sesekali. Namun, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 11.00.

Lara: “Rian... aku harus pulang. Aku harus segera packing Rian”

Rian: “Baiklah...”

Rian: “Oya Lara.. kapan kamu pulang lagi”

Terdiam aku beberapa saat.

Lara: “Aku belum tahu Rian. Mungkin 6 bulan lagi saat libur semester tiba. Tapi aku pun nggak bisa janji”

Rian: “Oooo.. Boleh aku antar kamu ke stasiun Lara”

Lara: “Dengan senang hati Rian”

Rian: “Tapi aku pulang dulu ya.. masih ada beberapa hal yang harus aku kerjakan. Kita jumpa di stasiun aja ya Lara?”

Lalu kami berpisah di simpang jalan rumahku. Aku langsung bergegas mempersiapkan beberapa keperluan untuk aku bawa kembali ke kota tempat aku kuliah. Aku mandi, berpamitan dan langsung menuju stasiun. masih ada waktu 2 jam untuk menunggu Rian sebelum keretaku datang. Aku menunggunya. Aku tersenyum sendiri. Sangat bahagia aku hari ini. Rian sangat mampu mengobati rasa rinduku akan masa lalu.

Namun, apakah aku jatuh cinta pada Rian? Itu yang masih menjadi pertanyaanku. Aku nyaman dengan dia. Aku bebas berekspresi saat bersama dia. Namun apakah aku jatuh cinta? Pertemuan tadi aku maksudkan untuk menebus kesalahanku di masa lalu karena sering mengabaikan Rian. Namun apakah aku jatuh cinta?

1 jam sudah aku menunggu Rian, namun dia tak kunjung juga datang ke stasiun.

Rian: “Lara... masih di stasiun kan?”

5 menit kemudian.

Lara: “Iya Rian"

Rian: "Maaf Lara. Ini masih dijalan. Sebentar lagi aku sampai”

Oke. mungkin 10 menit lagi kita jumpa dan mungkin itu waktu yang cukup untuk bisa mengobrol lagi dengannya. Dan tak terasa sudah 45 menit berlalu, namun Rian pun tak kunjung datang. Jujur, aku tak merasa bersedih dengan itu. Aku hanya kasihan dengan Rian. Sepertinya dia akan sia-sia sampai ke stasiun karena sebentar lagi keretaku akan datang. Dan memang benar. Kereta dari arah timur, kini sudah masuk ke stasiun dan akan membawaku kembali ke kota tempatku kuliah.

Aku masih mencoba untuk menunggunya.

Dan...

Dan...

Dan akhirnya dia datang. Dia datang dengan terburu-buru. Aku tak tahu apa yang terjadi selama perjalanannya menuju stasiun. Tak sempat lagi dia menceritakan semuanya kepadaku.

Rian: “Lara... maafkan aku. Aku terlambat”

Lara: “Nggak papa Rian. Tapi aku harus pergi... bye...”

Lalu aku berjalan menuju arah gerbong yang menjadi tempat dudukku.

Rian: “Ra....”

Dia memanggil. Aku menoleh. Dan aku hanya tersenyum.

Lalu aku menaiki gerbong kereta, berdiri dipintu masuk. Melihat Rian yang hanya berdiri terpaku seorang diri. Terlihat rasa lelah menyelimutinya. Nafas yang masih terlihat terengah-engah dicobanya untuk diabaikan sementara. Dan kereta api lambat laun berjalan meninggalkan stasiun. Rian terlihat semakin mengecil lalu hilang.

Lara: “Maafkan aku Rian, aku sadar ternyata aku belum bisa jatuh cinta kepadamu”

Rian: “Nggak papa ra...”

Dan setelah itu tak pernah lagi kudengar kabar darinya. Rian bagai hilang ditelan bumi.


Selasa, 03 April 2018

Stasiun Nganjuk

Berat rasanya hati ini
Meninggalkan kota ini lagi
Berkali-kali aku berlari dan terus berlari
Sampai tak mampu lagi kaki terhenti
Semuanya kumulai dari sini
Di stasiun ini

Di stasiun ini juga kugantung mimpi
Mimpi akan bintang di langit
Mimpi akan cita-cita yang tinggi
Walau semuanya hanya berawal dari niat ingin berlari

Aku bersyukur kini mimpi telah datang
Kini mimpi bisa kugenggam
Namun sayang, kebiasaan berlariku tak mampu kutahan

Aku ingin terus berlari
Selaju kereta api yang tak mampu menepi
Walau ingin berhenti
Namun aku sadar itu tak mungkin terjadi
Ya…aku sadar…berharap benar

4 Desember 2017
Pukul 22.00 WIB

(Dok. Searching Google)



Angin Pancaroba

berdiri aku terpaku
terasa lagi hembusan itu

desiran sayup yang tiba-tiba datang
menyentuh titik jantung yang terdalam

kali ini pancaroba mendatangiku
hembusan angin itu menemukanku
dan sepertinya dia tau 
bakal selalu menemukanku

di negeri yang angkuh
di negeri yang bermile-mile melintas jauh
hembusan yang selalu mengingatkanku
akan semua masa kecilku
akan semua tumbuh kembangku

angin ini mengingatkanku selalu akan kota kecilku

berjalan beriringan teman
berlari kecil, bersepeda melawan angan
berat namun menyenangkan

Sampai kapanpun dan dimanapun
angin pancaroba selalu bisa menemukanku
selama masih di zona yang sama
zona tropis bermusim dua
yang selalu bisa kurasakan hadirnya

(Dok. Searching Google)

Senin, 05 Maret 2018

Arok Dedes (Pramoedya Ananta Toer)

Satu hal yang paling aku sukai dari karya-karyanya Pak Pram adalah tentang penggambaran setting tempat dan alur ceritanya. Beliau mampu mendeskripsikan secara detail lokasi-lokasi yang menjadi latar cerita dan beberapa peristiwa besar dalam sejarah Nasional sehingga pembaca mampu membayangkan seperti apa kondisi saat itu. Beliau mampu menggabungkan cerita deskriptif dengan narasi yang begitu indah namun tidak terlihat bertele-tele atau istilahnya sekarang, lebay.

Salah satu novel yang saat ini sedang aku baca adalah Arok Dedes. Pasti sebagian besar kita sudah sangat familiar dengan kisah dua sejoli ini. Sebagian besar kita sudah sangat paham bagaimana alur cerita dari kisah tersebut. Tak perlu lagi aku ceritakan kembali bagaimana kisah itu berlangsung. Dan bagi yang belum tahu kisahnya, lebih baik segera mencari novel-novel tersebut baik dari karya Pak Pram sendiri maupun karya-karya dari novelis lainnya.

Kembali lagi aku masih saja mengagumi tokoh penulis penting ini, Pak Pram. Dalam novel Arok Dedes ini beliau sangat detail menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu. Novel yang memiliki tebal tidak kurang dari 550 halaman ini, dalam 1,5 hari saja bisa dirampungkan sampai 350 halaman, ntah karena memang aku penggemar gaya bahasanya Pak Pram ataukah memang novelnya yang membuat kecanduan untuk terus membacanya. 

Bagi kalian yang suka dengan hal-hal berbau sejarah atau masa lalu, atau sedang menekuti hal-hal yang terkait masa lalu terutama masa Hindu-Buddha di Indonesia, novel ini bisa sangat membantu. Terlepas dari keakuratan data sejarahnya, hal itu memang harus disinkronkan kembali dengan data-data sejarah yang ada. 

Keasyikan tersendiri bagi para pecinta novel sejarah adalah kita bisa mempelajari hal-hal terkait masa lalu dengan gaya bahasa yang lebih luwes dan tidak kaku seperti karya tulis ilmiah. Namun sebagai catatan, kita tidak bisa telan mentah-mentah informasi tersebut, kita seharusnya tidak mudah percaya dengan hal itu dan jika masih saja ingin mendalami data itu harus mencari sumber yang betul-betul valid, misalnya buku babonnya para sejarawahwan, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1-6. 

Namun begitu Pak Pram mampu menarasikan kisah yang berlatar belakang Kerajaan Kadiri ini di masa kepemimpinan Kertajaya (keturunan Raja Airlangga) dan hubungannya dengan kerajaan dibawahnya dengan raja kecil, Tunggul Ametung yang tidak lain adalah suami Ken Dedes. Dalam kisah itu juga menceritakan bagaimana seorang berkasta sudra bisa menjadi ksatria, bagaimana seorang berkasta brahmana ditaklukan oleh seorang ksatria berdarah sudra sehingga harga dirinya merasa direndahkan. 

Selain itu, Pak Pram mampu menceritakan adanya kronologi cerita kisah-kisah masa Hindu-Buddha sebelum berakhirnya Kerajaan Kadiri, adanya wangsa Isana dan Syailendra selama masih di daerah Jawa bagian tengah, lalu adanya hubungan dengan Sriwijaya, perpindahan ke wilayah timur sampai muncul Pu Sindok, Dharmawangsa Tguh, adanya hubungan dengan Udayana di Bali, dan semua  itu digambarkan dengan terperinci lengkap dengan kisaran angka tahunnya, yang dibuat dalam tahun Saka. 

Kisah Ken Dedes dan Ken Arok yang merupakan cikal bakal munculnya Kerajaan Singasari ini digambarkan dengan berbagai intrik-intrik dalam lingkup kerajaan, strategi-strategi terselubung untuk menumbangkan Akuwu Tunggul Ametung dengan seizin sang Brahmana Lohgawe. Adanya gambaran Gunung Kelud, Gunung Arjuna, Gunung Kawi, dan Gunung Penanggungan menandakan setting tempat tersebut berlokasi di daerah Malang dan sekitarnya. 

Dalam novel tersebut, digambarkan seorang perempuan dengan berpakaian hanya mulai dari bagian perut ke bawah. Sedangkan bagian atasnya bertelanjang dada. Berdasarkan relief-relief candi yang ada di Jawa baik itu di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, memang gambaran seorang perempuan berpakaian seperti itu, baik dia penganut Buddha, Hindu Siva maupun Hindu Visnu. Barulah pengaruh Islam masuk, para perempuan mulai menutup bagian dadanya. 

Dan masih banyak hal-hal lain yang bisa kita pelajari dari kisah novel tersebut. Selamat membaca dan teruslah berkarya.

(Dok. Pribadi, 2018)

(Dok. Pribadi, 2018)

Sabtu, 03 Maret 2018

Peter Rabbit

Pas tanggal 1 Maret gajian, pas juga anak lanang nagih minta nonton bioskop. Aku dan anakku Archan sepertinya tanpa kita sadari memiliki kebiasaan nonton bioskop berdua. Berawal saat dulu sang suami berangkat S2 di Yogyakarta, aku yang saat itu masih berdua dengan Archan banyak menghabiskan waktu akhir pekan kami dengan ngemall dan nonton bioskop. Sabtu jam 11 siang, setelah jemput sekolah langsung on the way ke Mall dan biasanya langsung menuju bioskop. Kebayang dong kalau anak kecil diajak nonton? ya... ujung-ujungnya tidur siang didalam. Namun daripada keliling nggak jelas yang ujung-ujungnya beli ini beli itu, ya bagusan nonton aja, pikirku. Lumayan bisa membuang waktu berdua.

Nahhh.... kali ini niatan awal kami sebenarnya memilih Black Panther, namun karena jadwalnya yang kesorean, kami akhirnya disarankan sama mbak mbak penjual tiket untuk menonton Peter Rabbit. Aaaa.... langsung dengan spontan Archan mengiyakan. Well.... karena ini film animasi dan menurutku sangat cocok untuk anak-anak, aku langsung membeli tiket untuk kami berdua. Sambil menunggu, kami sempatkan diri untuk nongkrong dilobi dan menikmati minuman serta makanan kecil kami.

Itulah enaknya nonton tidak di hari libur atau Sabtu-Minggu. Selain harga tiket yang lebih murah, pengunjungnya pun tidak bejibun. Dan saran lagi, mending nontonnya jangan pas baru rilis tu film, dijamin kehabisan tempat duduk. Dan kali ini dalam satu ruangan, hanya ada 6 orang penonton termasuk kami. Spektakuler. Berasa milik pribadi aja ya bioskopnya? Untung bukan film horor yang ditonton. Dan.... sajian Peter Rabbit siap dihidangkan.

(Dok. Searching Google)

Peter (James Corden) adalah tokoh utama dalam film ini. Seekor kelinci yang lincah dan nakal, bersama beberapa saudaranya mencoba untuk merebut rumah dan ladang milik Mr. McGregor (Domnhnall Gleeson). Film yang disutradarai oleh Will Gluck sekaligus penulis naskah bersama kedua rekannya Rob Lieber dan Beatrix Potter ini mengambil latar sebuah hutan dan desa kecil nan indah dengan berbagai jenis binatang-binatangnya. Peter bersama saudara-saudaranya selalu berusaha mencuri hasil ladang milik Mr. McGregor, dan perseteruan diantara mereka pun menjadi cerita inti dalam film animasi ini.

(Dok. Searching Google)

Yang menjadi renyahnya film ini, adanya tokoh lain yaitu Bea (Rose Byrne), seorang wanita cantik penyayang binatang yang begitu menyayangi Peter dan saudara-saudaranya. Bea, seorang pelukis yang tinggal di sebuah rumah tak jauh dari rumah McGregor dan pohon tempat tinggalnya Peter bersaudara. McGregor harus berusaha berpura-pura menyayangi Peter bersaudara demi mendapatkan hati Bea. Diujung cerita, Bea akhirnya tahu bahwa McGregor hanya berpura-pura menyayangi binatang dan dia sangat marah. McGregor begitu menyesali perbuatannya, menyerah dan kembali ke kota. Peter yang juga akhirnya merasa bersalah karena telah memisahkan mereka berdua, mencoba untuk memperbaiki keadaan dengan pergi ke London mengejar McGregor, meminta maaf dan mengajaknya kembali lagi ke desa.

Satu hal yang menarik perhatianku dari film animasi ini adalah setting tempatnya. Semua terlihat  begitu rindang, hijau, tenang dan sejuk. Ingin rasanya memiliki tempat tinggal seperti itu. Rumah Bea, juga menjadi perhatianku. Lantai rumahnya yang terbuat dari batu alam dan tembok-temboknya juga terlihat alami. Dia memiliki satu ruang khusus untuk menyalurkan hobinya melukis. Ingin rasanya memiliki rumah seperti itu, dengan halaman rumah yang luas dengan satu ruang khusus untuk melakukan segala kegemaran atau hobi kita dengan suasana yang begitu tenang. Tentunya yang ramah lingkungan.

(Dok. Pribadi, 2018)




Selasa, 27 Februari 2018

Perempuan Kurus Itu

Ibu-ibu kompleks mulai berdatangan bersamaan dengan bu Polan yang sedang menggelar dagangannya. Pagi itu seperti biasa aneka sayur mentah, ikan segar, ayam dan aneka bahan masakan lainnya dijajakan bu Polan di depan rumahnya. Aku yang terbilang jarang belanja di kedai, hari itu ikut meramaikan kedai bu Polan. Beberapa sayur dan ikan mulai kupilih untuk menu masakanku hari ini. 

Kulihat, ada seorang perempuan kurus menggendong bayi, terlihat pendiam dan enggan turut serta meramaikan kedai tersebut. Hanya satu untai bayam dan 2 bungkus tempe dia tenteng lalu didekatinya bu Polan.

Sambil berbisik perempuan kurus itu berucap, "bu... saya hutang lagi ya... saya nggak punya uang".

"Ah.... kau!!!! udah numpuk hutang kau ya.... ", gerutu bu Polan, "makanya punya laki yang bener!"

Tertunduk malu perempuan kurus itu sambil menggendong bayi 2 bulan yang sepertinya sedang gelisah minta susu.

Aku yang saat itu masih memilih beberapa sayur dan ikan, terperanjat mendengar bentakan bu Polan. Kulihat perempuan kurus itu tertunduk malu karena semua orang menatapnya. Dia meletakkan bayam dan tempe ketempatnya lagi, lalu berlalu meninggalkan kedai dengan tangan kosong. 

Tak lama setelah dia pergi, aku juga membayar beberapa belanjaan. Sambil menenteng belanjaanku, aku pun berlalu meninggalkan kedai. Sepintas kudengar bisik-bisik para ibu mengomentari perempuan kurus itu dengan pandangan miring. 

Aku berjalan menuju rumahku. Tepat di ujung jalan berbelok terlihat perempuan kurus itu sedang duduk gelisah di sebuah rumah kosong. Sepertinya dia kelelahan berjalan dan ingin istirahat sebentar disitu. Kudengar bayi digendongannya menangis tiada henti. Dia berusaha untuk terus menyusui bayinya, namun sepertinya tak kunjung kenyang. 

Aku yang saat itu merasa iba melihat kondisinya, kucoba untuk mendekati.

"Anak kakak sepertinya laper ya... kakak sendiri sudah makan?" Sapaku padanya.

Dia mendongak dan melihatku. Tiba-tiba kulihat airmata mengalir dipipinya. 

"Kak... kak... kakak nggak papa?", aku bingung saat itu harus berbuat apa. Lalu aku duduk disampingnya. Mencoba untuk menenangkannya.

"Aku nggak bisa masak lagi kak... sudah nggak dikasih ngutang lagi aku kak sama bu Polan", isaknya.

"Sabar ya kak...." hiburku kala itu. "Jadi pagi ini kakak belum makan?"

"Belum kak".

Terdiam lama kuperhatikan perempuan kurus itu sambil terus berusaha menyusui bayi yang ada digendongannya.

"Kami sudah 2 hari ini makan cuma pake kerupuk saja kak", ceritanya kemudian, "Laki ku udah nggak pulang 2 hari".

"Kemana suami kakak rupanya?"

Terdiam dia. Sepertinya ada keengganan dimulutnya untuk mengatakan yang sebenarnya. Langsung aku alihkan pembicaraan agar dia tidak merasa sedih lagi.

"Anak kakak berapa?"

"6 kak... ini yang terkecil".

"Banyak ya... jadi mereka semua juga pada belum makan pagi ini?"

Terangguk dia lalu terdiam lagi aku dibuatnya. Aku merasa ada beban dipikirannya yang ingin rasanya dia keluarkan. Setelah beberapa menit kami membisu, dia lalu bertanya.

"Kakak orang sini?" 

"Nggak kak... aku cuma main kerumah uwakku. Itu rumah uwakku", kutunjuk asal saja salah satu rumah yang ada dideretan kompleks perumahan tipe 36 itu. Entah mengapa aku langsung berbohong kalau aku bukan orang kompleks situ.

Lalu perempuan kurus itu bercerita, "aku nyewa kak disini. Udah 6 bulan kami tinggal di kompleks ini", kemudian dia melepaskan nenen bayinya karena dilihatnya sudah tertidur lelap karena kecapekan. 

"Aku ketemu bang Ronal di kafe kak. Aku dulu penyanyi kafe. Entah mengapa tiba-tiba aku langsung jatuh cinta begitu saja dengan bang Ronal. Lalu kami menikah".

"oooo...."

"Aku tahu bang Ronal tak ada kerjanya kak. Dia datang ke kafe cuma mau minum sama karaokean saja kak. Tapi aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya".

"Terus sekarang suami kakak kerja apa buat ngasih makan anak-anak kakak?" tanyaku.

"Itulah kak.... aku malu sebenarnya mau cerita ke kakak. Tapi karena kakak bukan orang sini... bolehlah kuceritakan ini".

Aku terus berusaha mendengarkan semua ceritanya.

"Lakiku maling kak.... "

"Oww....", tiba-tiba aku terhenyak. Teringat 2 bulan lalu aku begitu kesal dan emosi karena rumahku baru saja kemalingan. TV LCD ku lenyap digondol maling.

"Tapi sekarang lakiku sudah 2 hari nggak pulang kak. Dia ketangkap Polisi. Dia dikeroyok warga saat dia maling di kompleks Puri Asri", sambil terus dia meneteskan air mata, "tangan kanannya dipotong warga kak", tak kuat lagi sepertinya dia bercerita.

Aku pun yang saat itu masih shock dengan kondisiku sendiri mendengar kabar kalau suaminya adalah maling, mencoba untuk terus menghiburnya. "Sabar ya kak.... semua ini pasti ada hikmahnya". Sambil kukeluarkan sapu tangan lalu kuberikan padanya. Berharap dapat sedikit membantu beban yang ada dipundaknya. 

"Terima kasih ya kak. Aku malu sebenarnya cerita ini semua ke kakak. 2 bulan lalu lakiku pernah nyuri TV kak.... dibelakang rumah kami. Saat itu kami betul-betul tak punya uang kak. Anak-anakku nangis kelaparan semua. Kami bingung kak". 

"Ohhh.... ", lemasku kala itu. "rumah kakak nomor berapa rupanya?" tanyaku lalu.

"Blok F No. 8", jawabnya.

"Ohhh...." Itu rumah tepat dibelakang rumahku. Aku yang saat itu masih belum bisa terima dengan kehilangan TV LCD ku terasa begitu berkecamuk. Antara sedih, kesal dan kasihan.

"Terus apa yang kakak akan lakukan sekarang?"

"Nggak tahu kak. aku bingung. Anakku banyak. Lakiku di penjara. Aku nggak bisa ngasih makan anak-anakku lagi kak".

Kami berdua terdiam. Masing-masing dengan pikirannya sendiri-sendiri. Kukeluarkan selembar uang seratus ribu pemberian suamiku yang rencananya akan aku belikan susu untuk anakku.

"Terimalah ini kak... maaf aku nggak bisa banyak bantu. Semoga kakak hari ini bisa masak buat anak-anak kakak".

"Ohh... nggak usah kak... aku nggak ada maksud untuk minta uang ke kakak", tolaknya dengan halus.

"Nggak papa kak. Cuma ini yang bisa aku bantu buat kakak. Terimalah ini kak".

"Terima kasih kak.... maaf aku merepotkan", senyum sendu terlihat bahagia diwajahnya. Diciuminya bayi yang ada digendongannya sambil berbisik, "kita bisa makan hari ini nak...."

Lalu kami berpisah. Dia kembali ke kedai untuk membelanjakan uangnya. Dan setelah kulihat dia berlalu, baru aku pulang menuju rumahku. 2 hari kemudian kudengar perempuan kurus beserta ke-6 anaknya itu tak lagi tinggal di belakang rumahku. Entah pindah kemana akupun tak tahu. 

(Dok. Searching Google)




Senin, 26 Februari 2018

Kisah Pengemis di Jakarta

Gani. Seingatku itulah namanya. Anak laki-laki kecil yang setiap hari kulihat berjalan melintasi hutan kampus menuju fakultasku. Tanpa alas kaki, baju lusuh dan muka melas. Begitulah Gani setiap harinya. Setiap pukul 10.00 pagi sampai sekitar pukul 16.00 kulihat dia dengan 2 atau 3 teman lainnya mulai berpencar dan memulai aktivitasnya untuk meminta-minta. Kantin adalah tempat yang paling sering mereka kunjungi. Disitu banyak sekali mahasiswa yang menghabiskan waktu siangnya untuk makan siang dan istirahat. 

Saat itu tidak ada aturan dari kampus yang melarang para peminta-minta masuk di area kampus. Atau mungkin sudah ada namun aturan itu tidak terlalu diberlakukan, entahlah aku tidak terlalu paham dengan itu, yang jelas saat itu aku melihat mereka berlalu lalang. Aku yang saat itu bisa dibilang seumur jagung tinggal di Jakarta, merasa iba melihat Gani dan teman-temannya dengan muka melas mereka, kukeluarkan recehan dikantongku, kuberikan kepadanya. Setelah dia berlalu, salah satu temanku membisiku. 

"Lihat... disebelah sana. Lu lihat kan? Laki-laki berjaket jeans dengan celana hitam itu?", bisik temanku.

"Iya... gue lihat", jawabku.

"Dia itu bos nya Gani. Jadi percuma lu ngasih uang itu sama Gani. Uang itu bakal disetorkannya pada lelaki itu", aku terperanjat dengan bisikan temanku. "Lain kali kalo lu kasian sama Gani, lu ajak duduk aja dia, lu traktir makan. Kenyang deh Gani. Pasti melongo tu lelaki disana". 

Aku tak habis pikir saat itu. Bisa-bisanya seorang pengemis saja harus dimandorin seperti kuli bangunan. Itulah Jakarta, dan aku baru tahu itu.

Pernah suatu ketika juga, saat aku sedang menunggu bus kampus di halte Fakultas Ilmu Budaya seorang diri. Ada seorang ibu paruh baya mendatangiku dengan wajah melas. 

"Nak... lagi nunggu bus ya?" tanya ibu itu.

"Iya bu", jawabku.

"Gini nak, aku punya anak yang lagi kuliah di Kedokteran, Salemba. Aku sudah rindu sama dia. Aku ingin kesana, tapi aku tak ada ongkos nak. Boleh nggak ibu pinjem 50.000 besok ibu pulangin".

Dengan polosnya kujawab, "Nggak ada bu kalau 50.000. Tapi aku punya 10.000. Kayanya cukup lah bu untuk ongkos naik KRL ke Salemba", jawabku.

"Ya udah nggak papa nak. Beneran besok saya pulangin kok".

"Iya bu nggak papa", kukeluarkan uangku, kuberikan ke ibu itu dan berlalulah dia. Tak banyak yang bisa aku analisa dari kejadian itu. Tanpa kusadari ternyata ada salah seorang temanku yang sedari tadi memperhatikanku. Lalu setelah ibu itu pergi, dia menghampiriku.

"Churma, besok-besok lagi jangan lu kasih ya kalau ada Ibu-ibu kaya tadi", Aku masih diam dan bingung. Emang salah ya sikapku Tadi. "Dia itu penipu. Coba deh lu perhatiin, masak iya anaknya kuliah di Kedokteran penampilannya kayak gitu". Iya juga, pikirku. "Yuk... kita jalan ke balhut (balik hutan) yuk", ajak temanku.

"Lihat tu.... ibu itu lagi ngobrol sama mahasiswa lain kan? sama modusnya kaya lu tadi", spontan aku langsung merasa kesal karena telah tertipu. Aku yang sudah dengan niat tulus ikhlas, ternyata kena modus penipuan. Entah mengapa setelah kejadian itu, aku begitu tidak simpati lagi dengan para peminta-minta. Aku langsung acuh ketika didatangi oleh mereka. 

Semakin lama aku tinggal di Jakarta, semakin sering aku melihat modus-modus pengemis di jalanan. Namun, satu kejadian yang membuat hatiku tersayat saat itu, ketika pernah aku masuk di sebuah KRL. Saat itu pukul 10.00 pagi yang berarti kondisi KRL sedikit lengang, namun masih terbilang padat. Entah mengapa, saat itu aku kebagian tempat di gerbong paling belakang. Ketika aku masuk ke gerbong tersebut, aku lihat sekelilingku banyak sekali anak kecil (usia SD), ibu-ibu berpakaian lusuh dengan menggendong bayi dan ada juga yang sedang menggandeng anak kecil. 

Semakin aku dikejutkan dengan 2 lelaki berbadan besar yang sedang menceramahi mereka. Aku lirik sesekali. Ternyata lelaki itu juga menatapku. Aku sangat ketakutan. Itukah bos mereka? Ya Allah, jumlah pengemis itu banyak sekali dan mereka semua harus tunduk pada perintah 2 lelaki itu. Ya Allah, kasihan sekali anak-anak dan ibu-ibu itu. Aku yang tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa berdiri diam sambil menunggu stasiun tujuanku. 

Saat sampai di stasiun aku segera turun, membeli air mineral, dan duduk sejenak. Shock rasa hati ini. Entah apa yang aku rasakan. Sedih, takut dan kesal rasanya. Kejam sekali kota ini.

(dok. Searching Google)