Pertama kali aku menggunakan moda transportasi kereta saat aku diterima kuliah S1 di Jurusan Arkeologi, Universitas Indonesia. Saat itu, aku dengan diantar kakak iparku pergi ke Jakarta dengan menggunakan kereta Bisnis-Ekskutif Bangun Karta yang berakhir di Stasiun Senen. Kenyamanan gerbong kereta aku rasakan pertama kali saat meninggalkan kota kecilku Nganjuk untuk menuju ke Jakarta. Bahkan kami sempat merasakan pelayanan makan malam dan minum gratis serta selimut hangat kala jam tidur tiba.
Setelah jadwal kuliah mulai berjalan, aku mulai membiasakan diri untuk bisa hidup sendiri di Jakarta tanpa keluarga. Selang 2 bulan setelah kedatanganku di Jakarta, tetiba muncul keinginan untuk pulang kampung sendiri. Aku tak enak jika harus mengajak teman untuk ikut serta pulang kampung karena memang libur semester belum tiba, bahkan jadwal Ujian Tengah Semester sudah diambang pintu. Hari itu hari kamis, jadwal kuliah selesai pukul 10.00 pagi. Dari kampus aku langsung berangkat ke Stasiun Senen dan berharap hari itu juga bisa pulang ke Nganjuk. Aku yang saat itu masih belum hafal dengan jadwal-jadwal keberangkatan kereta menuju Surabaya via Nganjuk, dengan PD nya pergi ke stasiun.
Sesampai di stasiun, sudah pukul 12.00. Ternyata kereta ekonomi Gaya Baru Malam Selatan hampir berangkat dan otomatis tiket sudah habis terjual. Saat itu memang sasaranku ingin membeli tiket kereta ekonomi karena harganya yang sangat murah bila dibandingkan dengan kereta Bisnis dan Ekskutif. Beruntung saat itu aku bertemu seseorang dan menyarankanku untuk membeli kereta ekonomi Kertajaya, namun harus berhenti di Bojonegoro. Dan tanpa pikir panjang aku langsung membeli tiket. Saat itu harganya cuma Rp. 45.000. Dan lebih sialnya lagi, aku sudah tidak mendapatkan tempat duduk. Entahlah, saat itu aku cuma berfikir, coba dulu. Kamu pasti bisa. Dan ternyata di dalam kereta, aku betul-betul berdiri, bersama para penumpang lain yang juga tidak mendapatkan tempat duduk.
Ada satu pemuda yang sepertinya kasihan kepadaku. Dia menawariku tempat duduknya dan dia memilih berdiri menggantikan posisiku. Dengan ucapan terima kasih akhirnya aku bisa mendapatkan tempat duduk. Bisik seorang ibu disampingku, "baik sekali mas mas itu dek... mau ngasihkan kursinya buat kamu". Aku yang masih saja bingung harus bersikap bagaimana, akhirnya aku mengajak ngobrol pemuda itu dan sepertinya dia sangat antusias. Semalaman dia hanya berdiri terpaku, aku lupa dia turun dimana bahkan tak sempat aku mengucapkan beribu terima kasih kepadanya.
Hampir sampai di Bojonegoro, seorang bapak menanyaiku akan turun dimanakah aku. Aku jelaskan tujuan awalku yang ingin ke Nganjuk. Bapak itu langsung menasehatiku agar aku turun di Babat, lalu mencari bus tujuan Jombang Malang. Akhirnya aku ikuti nasehat bapak tersebut, dan sesampai di Jombang aku langsung pindah bus tujuan Nganjuk.
Pengalaman pertamaku naik kereta ekonomi ternyata tidak membuatku kapok untuk selalu mengulanginya. Setelah itu, setiap kali aku pulang kampung, kereta ekonomilah yang selalu menjadi sasaranku. Aku yang akhirnya sudah hafal dengan jadwal-jadwal kereta ekonomi jurusan Nganjuk selalu menggunakan Gaya Baru Malam Selatan dengan harga Rp. 36.000 (tujuan akhir Surabaya) atau kalau tidak, kereta Brantas yang berakhir di Kediri dengan harga Rp. 42.000. Sering aku ajak beberapa teman yang kampung halamannya Nganjuk atau Kediri, namun mereka sangat enggan dan lebih memilih untuk jarang pulang kampung.
Bahkan jika aku harus kehabisan tempat duduk, aku malas untuk kembali lagi ke Depok. Aku tetap memilih untuk terus pulang kampung walau harus duduk di lorong. Bahkan pernah suatu ketika aku duduk tepat didepan pintu kamar mandi bersama beberapa orang yang sama sekali tidak aku kenal. Dari situlah aku baru tahu, ternyata para pedagang pecel yang selama ini aku beli, mengambil air dari kran kamar mandi untuk menyeduh sambal pecel. Semenjak dari situ, tak pernah lagi aku membeli pecel di kereta.
Perjalanan yang aku tempuh selama 14 jam sering membuatku untuk terus berjaga semalaman. Aku sengaja untuk tidak membawa barang bawaan banyak, hanya ransel kecil berisi dompet dan hp agar aku lebih nyaman dan tidak was was. Seperti sudah menjadi rahasia umum, tingkat kriminal di kereta ekonomi sebelum adanya perbaikan managemen seperti saat ini, sangat tinggi. Masing-masing penumpang harus bisa menjaga diri dan bawaannya serta jangan mudah percaya pada orang. Bahkan ketika ibuku menawariku untuk membawa beras, dan tetek bengeknya dari rumah, aku selalu menolak. Aku lebih milih mentahnya saja agar lebih praktis.
Pernah suatu ketika, ada kegiatan PIAMI (Pertemuan Ilmiah Arkeologi Mahasiswa Indonesia) IX di Denpasar Bali. Kebetulan kami bertujuh ditunjuk untuk mewakili jurusan dan KAMA mengikuti kegiatan tersebut. Aku yang saat itu ditunjuk sebagai ketua kegiatan, mulai menyusun rencana kegiatan termasuk teknis kami menuju kesana. Kami yang mendapatkan dana bantuan dari fakultas mencoba mengelola anggaran yang tidak seberapa itu untuk bisa digunakan dengan sebaik-baiknya. Saat itu aku menyarankan untuk menggunakan kereta ekonomi dari Jakarta-Surabaya. Pro dan kontra terjadi diantara kami. Namun aku bersikukuh untuk tetap naik kereta ekonomi mengingat dari kami semua tidak akan sanggup jika harus menggunakan pesawat. Dan apalagi kami semua anak Arkeologi, dan sebagian besar laki-laki. Tak masalah menurutku jika kami melakukan sebuah perjalanan yang kurang begitu nyaman.
Awalnya mereka mengeluh kesakitan. Ada yang lelah, pinggang terasa pegal dan keluhan-keluhan lainnya. Padahal perjalanan baru sampai Cirebon. Namun lama kelamaan aku perhatikan mereka mulai menemukan kenyamanannya. Kami semua mulai bisa bercanda lepas bahkan terbahak-bahak. Kami semua menertawakan semua hal yang ada disekitar kami. Penjual aqua "dingin... dua ribu..." menjadi bahan lelucon kami, bahkan itu masih saja muncul bertahun-tahun kemudian. Pengamen banci yang selalu singgah di hadapan kami membuat riang dan gembira. Aku mulai mengantuk. Aku beli koran bekas, dan aku masuk ke lorong bawah kursi. Aku ambil tempat disitu untuk menikmati malamku sampai pagi sambil terus mendengarkan celotehan teman-teman.
Menjelang mudik lebaran, biasanya aku tak pernah menggunakan kereta ekonomi untuk pulang kampung. Bagiku itu sangat beresiko. Namun suatu ketika, aku dan 2 seniorku mengajakku naik kereta bisnis untuk mudik lebaran. Tak dinyana, ternyata kami ketinggalan kereta. Beruntung tiket kereta tidak hangus. Namun kami dengan terpaksa harus menggunakan kereta ekonomi jika ingin tetap mudik lebaran. Tak terbayang bagaimana kami bisa duduk nyaman di dalam kereta. Masuk saja belum tentu bisa. Di stasiun Jatinegara, sudah 3 kereta ekonomi melintas dengan tujuan akhir Surabaya dan Malang. Namun masih saja kami tak bisa masuk. Begitu penuh penumpang bahkan sampai di depan pintu.
"Mbak Uswah... Mbak Titis... kita harus ke Senen mbak... kalau disini terus kita nggak akan bisa masuk. Aku mau besok bisa takbiran di Nganjuk...". akhirnya kedua temanku mau mengikuti ajakanku. Kita bertiga akhirnya langsung pergi ke Stasiun Senen dengan menggunakan Bajai. Sampai disana hari sudah mulai Magrib. Kami bersyukur, kami masih bisa puasa Ramadhan walau dengan kondisi seperti itu. Akhirnya kita beli es teh untuk persiapan buka puasa. Dan ketika adzan Magrib berkumandang, dari kejauhan datanglah kereta tambahan Lebaran.
"Mbak... kita tetap harus bergandengan ya.... jangan sampai lepas.... pokoknya kita bertiga harus bisa masuk kereta". Aku yang sudah terbiasa dengan kereta ekonomi, memilih barisan paling depan untuk mencarikan jalan masuk. Sambil memegang plastik es teh, kereta datang dan mulai berjalan perlahan. Kami bersiap-siap menyongsong pintu masuk kereta. Jangan sampai posisi kita jauh dari pintu masuknya. Akan lebih sulit jika itu terjadi. Dan, beruntung. Kereta berhenti tepat di depan kami. Dan kami bisa langsung siap-siap berebut pintu dengan yang lainnya. Kami terus berpegangan tangan sambil sesekali meneguk es teh karena waktu buka puasa telah tiba.
Kami bersyukur, akhirnya kami sudah berada di dalam kereta walau dengan kondisi berdiri sepanjang malam. Inilah rasanya mudik yang begitu diidamkan oleh sebagian besar warga Jakarta walau harus berkorban jiwa dan raga. Pengalaman-pengalaman pahit berkereta ekonomi kini mungkin sudah tidak ada lagi. Dan aku bersyukur warga Jakarta tidak lagi mengalaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar