Sedang asyiknya membaca Novel Dwilogi Padang Bulan, terdapat beberapa cerita yang terkait dengan bujang lapuk. Ingatanku langsung mengembara jauh pada satu peristiwa beberapa tahun silam (sekitar tahun 2014). Tepatnya ketika aku mengikuti kegiatan penelitian di kantor tempatku bekerja. Pada sebuah pulau kecil di jajaran Kepulauan Batu, Nias Selatan.
Kepulauan Batu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Nias Selatan yang beribu kota di Pulau Telo. Di Pulau Telo itulah kami menginap setiap harinya. Untuk memenuhi kepentingan penelitian kami melakukan survey di beberapa tempat yang ada di wilayah kepulauan tersebut. Dengan perahu mesin nelayan kami melintasi Samudera Hindia menuju beberapa pulau yang menjadi objek penelitian kami. Sesekali ombak menghadang namun sesekali juga cuaca tenang. Meskipun demikian tak pernah sekalipun pelampung terlepas dari tubuhku, demi satu tujuan, safety.
Pada satu pulau, kami mendarat dengan kondisi seadanya. Melompat dengan celana bagian bawah basah sudah menjadi rutinitas kami setiap akan turun dan naik perahu. Ombak yang begitu besar di tepian membuat kami harus sigap dan cepat bergerak. Di pulau itu juga terdapat beberapa kampung yang mencirikan perkampungan tradisional masyarakat Nias. Pulau Biang. Itulah nama pulau tersebut.
(Foto bersama Kepala Desa Limo Biang)
Pulau tersebut secara administratif masuk kecamatan Pulau-pulau Batu Utara (tidak di Kecamatan Pulau-pula Batu). Terdapat Kampung Hiligo'o yang masuk dalam Desa Limo Biang. Selain itu terdapat juga Desa Jiabiang. Menurut informasi, dulunya kampung ini dihuni oleh orang Nias bermarga Duha yang datang dari daratan Nias Selatan. Marga ini juga yang kemudian merantau ke Aceh lalu memeluk Agama Islam dan memiliki marga Polim.
Masyarakat Nias sangat pemalu, terutama perempuan. Mereka tidak terbiasa kedatangan tamu asing sehingga ketika kami tiba disana, terlihat wajah heran di mereka. Para perempuan hanya berani mengintip di balik jendela dan sesekali kudengar bisikan-bisikan mereka yang tak kumengerti artinya. Seperti biasa, setelah mendapatkan arahan dari Kepala Desa, kami dipersilakan untuk melakukan penelitian. Objek-objek tinggalan budaya berupa benda (artefak) menjadi fokus penelitian kami. Memotret, mengukur, dan mendeskripsikan data menjadi bagian tugas yang harus aku lakukan.
Satu hal yang paling kuingat di tempat tersebut, adanya satu orang bapak yang mungkin kutaksir usianya sekitar 50-60 tahun sangat aktif mengikuti kemana kami pergi. Dia sangat penasaran ingin mengetahui apa yang sedang kami kerjakan. Tak heran kami diperlakukan seperti itu. Di tempat lain pun kami menghadapi hal serupa. Aku lihat dari raut wajahnya, dia sangat bahagia dan menyambut hangat kedatangan kami. Dia sangat ramah dan murah senyum.
Sayangnya dia tak mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Hampir semua percakapan yang dilakukannya menggunakan bahasa Nias. Beruntung ada salah satu tenaga lokal kami yang mampu menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Tanpa aku sadari dia mencoba untuk terus berkomunikasi kepadaku. Aku dengan penjelasan yang seadanya mencoba untuk menanggapinya sekedar menghormati. Sesekali dia minta foto, dan aku sangat senang memotret beliau. Bahkan dia sempat minta juga foto bersama dan berharap foto yang sudah ada dicetak dan dikirimkan kepadanya nanti.
Tak terasa hampir setengah hari kami berada di pulau tersebut dan waktunya untuk berpamitan. Masih ada pulau-pulau lain yang harus kami singgahi. Bapak itu dengan antusias meminta nomor hp ku. Dia minta kertas dan pulpen untuk dicatatkan nomorku. Teman-teman yang lain tak berhentinya tertawa melihat tingkah kami berdua. Setelah kami naik perahu, pelan-pelan kami meninggalkan pulau Biang yang perlahan mulai mengecil. Kulihat bapak tua itu berdiri terpaku sendiri melihat kepergian kami. Aku menerka ada perasaan hilang yang muncul dalam benaknya.
Setelah dijelaskan salah satu rekan yang mampu berbahasa Nias, ternyata bapak tua tersebut menaruh simpati terhadapku. Bapak tua tersebut belum pernah menikah bahkan usianya yang semakin senja. Aku shock dan tentunya itu menjadi bahan tertawaan kami. "Siap-siap kau dipersunting ma...." hahhaha....tertawa aku mengenang kejadian itu. Masih ada beberapa tempat yang harus kami kunjungi dalam beberapa hari ke depan sebelum kami kembali ke Medan.
Aku mengira, kepergian kami tersebut maka berakhirlah cerita tentang pak tua dari Pulau Biang. Ternyata setelah beberapa hari kami kembali ke Medan, disitulah cerita dimulai. Hampir setiap hari telepon berdering dengan nomor yang tidak kukenal. Aku angkat, ada suara lelaki di seberang yang mencoba untuk berkomunikasi denganku. Namun sayang, aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang dia ucapkan. Aku tak mengerti bahasa Nias sama sekali. Makin lama aku tahu dan baru teringat bahwa teror itu berasal dari bapak tua yang aku temui di Pulau Biang. Bahkan telepon itu masih saja sesekali aku dengar meskipun tahun-tahun sudah mulai berganti.
Dari sisi perempuan, tentunya itu satu hal yang sangat menyebalkan. Namun sisi lain ada rasa simpati yang terbersit dihatiku. Begitu gigihnya usaha bapak tua itu dan yang membuatku terharu, adanya harapan akan mimpi yang ingin dikabulkannya. Begitu polosnya orang-orang dari kampung terpencil di seberang sana sampai-sampai dia tak tahu apa makna dari sikap seorang perempuan yang telah menolaknya.
Jujur, aku kasihan sebenarnya jika teringat bapak tua itu, namun aku hanya bisa berdoa semoga yang terbaik selalu untuk dia sampai usianya yang semakin menua. Dan semoga segera menemukan jodoh yang mau mendampinginya sampai maut memisahkan.
(Bapak Tua dari Pulau Biang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar