Sabtu, 13 Januari 2018

Anak Rantau

Judul Anak Rantau ini aku sadur dari sebuah novel karya Ahmad Fuadi yang berjudul Anak Rantau. Ahmad Fuadi merupakan salah satu novelis ternama di Indonesia dengan karya-karyanya yang best seller dan bahkan sampai ada yang di layar-lebarkan. Trilogi Novel Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara membawa A. Fuadi ini dikenal di kalangan pencinta novel Indonesia. Dan karya berikutnya yang juga begitu populer berjudul Anak Rantau.

Aku mengetahui novel Anak Rantau ini pertama kali dari seorang senior SMA sekaligus sahabat sekaligus kakak yang sangat terobsesi akan novel tersebut. Ketika ada kesempatan, akhirnya aku pun penasaran dan membeli novel Anak Rantau. Karena ternyata sahabatku ini belum membaca novel tersebut, akhirnya aku pun setelah merampungkannya, mengirimkan padanya. Sekedar ingin berbagi cerita akan isi Anak Rantau dan sekaligus ternyata sangat menarik sekali novel Anak Rantau ini untuk dijadikan buah tangan. Terlepas dari isinya yang begitu menarik, sampul dan pembatas buku nya menurutku sangat mengesankan. Sebagai buah tangan, tak lupa aku sisipkan sepatah dua kata pada lembar pertamanya.

'Dengan merantau aku merasa kecil dan masih harus banyak belajar'

Begitulah kira-kira kalimat yang aku sisipkan pada lembar pertamanya. Satu kata yang menjadi perhatianku adalah kata 'rantau'. Belum lagi aku membaca isinya, pikiranku langsung melayang dan membayangkan bagaimana kata 'rantau' ini digunakan oleh beberapa orang yang telah meninggalkan kampung halamannya dan jadilah dia sebagai seorang perantauan. Ada perasaan tersendiri ketika kita menyebutkan kata rantau. Ada perasaan sedih, bimbang, penuh harap dan tentunya ada mimpi-mimpi yang tersematkan dalam benaknya. 

Aku adalah anak rantau. Aku memulai kisahku sebagai anak rantau setelah lulus SMA yaitu tahun 2002. 16 tahun sudah aku berada di tanah orang. Dulu...ketika aku masih SD atau SMP, setiap subuh aku dengar suara keras kereta api yang menandakan bahwa kereta tersebut sedang berhenti di stasiun kota kecilku. Dan ketika suara itu menggema, pikiranku langsung melayang jauh dan membayangkan bagaimana rasanya bisa merantau atau pergi jauh. Keinginan menggebu untuk merantau memang sudah kuat ada dari masa kecilku. Aku membayangkan hidup susah di sebuah kos-kosan kecil dengan uang pas-pasan sudah sering aku andaikan dulu saat masih di kampung halaman. 

Dan saat aku memutuskan untuk kuliah di Jakarta, mimpiku menjadi seorang perantauan akhirnya terkabul. Dan semua cerita aku mulai di stasiun kecil itu. Meskipun apa yang aku alami tidak se-ekstrim sebagaimana bayanganku dulu, namun aku betul-betul merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang perantauan, apalagi dengan jarak yang tidak sangat dekat dengan kota kecilku. Suara kereta api yang setiap pagi aku dengar dulu, kini ternyata aku baru tahu bahwa itu kereta api yang baru saja tiba dari Jakarta dan masih harus melanjutkan perjalanannya sampai ke stasiun akhir di Surabaya atau Malang. 

Segala rasa sedih, duka bahkan senang pun aku lalui di tanah rantau, Jakarta. Banyak hal yang bisa aku pelajari di sana, tidak hanya di bangku kuliah namun justru di luar itu. Kehidupan metropolitan membentukku menjadi pribadi yang lebih keras kepala, acuh, dan bisa dibilang sedikit slengekan. Aku sadar itu semua adalah proses pembelajaran atas jalan hidupku. Ada hal yang bisa aku kenang namun ada juga beberapa hal yang mulai aku hapus dari ingatanku. 

Tak puas hanya di Jakarta, setelah lulus aku malah punya mimpi ingin merantau lebih jauh lagi yaitu ke luar pulau Jawa. Aku tidak begitu menyukai kehidupan di Jakarta. Aku dulu sering membayangkan bagaimana jika aku seorang perempuan yang sudah berkeluarga dan harus bekerja. Pergi subuh pulang Isya. Aku tak menginginkan hidup seperti itu. Dan entah mengapa justru nasib membawaku ke Pulau Sumatera, tepatnya di Medan Sumatera Utara, pada tahun 2008.

Berbeda dengan Jakarta, di Medan meskipun disebut kota Metropolitan ketiga setelah Surabaya, namun ternyata kondisinya sangat jauh berbeda dengan Jakarta. Apalagi aku tidak berada betul-betul di tengah kota. Tepatnya di perbatasan antara Medan dan Deli Serdang. Aku mulai mengenal masyarakat Medan yang notabene ber-etnis plural. Ada Melayu, Batak, Karo, Mandailing, Minang, Aceh, Cina, India, Jawa, Nias dan masih banyak etnis lainnya yang melebur jadi satu di kota ini. Namun karakter kesukuannya yang masih kental membuatku agak berbeda dalam menyikapi pertemanan yang sangat bertolak belakang dengan teman-temanku di Jakarta. 

Cara bersikap pun aku harus bisa menyesuaikan diri. Di Nganjuk, kota kecilku, Jakarta, dan Medan sangat berbeda dalam menghadapinya. Shock Culture? Pastinya. Aku butuh waktu untuk bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Rasa kebertolakan akan kondisi yang ada juga pernah aku alami ketika awal-awal merantau baik di Jakarta maupun di Medan. Namun aku bertekad aku harus mampu menjalaninya. Dan tak terasa 16 tahun sudah aku melalui itu semua dan masih saja aku berada di tanah rantau, Medan.

Rindu kampung halaman? Jangan tanya. Aku bersyukur minimal setahun sekali pasti pulang ke kampung halamanku. Buatku itu ritual wajib yang harus aku lakukan meskipun harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit dan kelelahan yang sangat menguras tenaga, karena semua itu aku lakukan ketika Lebaran tiba. Masih betah di tanah rantau? ya... masih. Aku mudah betah tinggal dimana saja, jadi buatku tidak ada masalah dengan pertanyaan itu. Nggak ingin pulang kampung? ingin banget. Aku masih bermimpi ketika usia senja nanti aku akan pulang ke kampung halamanku dan menghabiskan sisa waktuku disana. Bahkan sampai di usia 35 ini ketika aku pulang ke kota kecilku saja, aku masih merasa diriku di usia SMA dan lupa bahwa aku sudah bekerja dan berkeluarga. 

Sampai-sampai salah satu keponakanku yang kini telah beranjak dewasa mencandaiku, "Mbak Churma kok nggak berubah, masih kaya anak-anak saja". 

(Buah tangan untuk sang sahabat sekaligus kakak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar