Rabu, 17 Januari 2018

Kembaran Yukkkk.....

Aku punya teman SMA dulu yang sekaligus juga teman di ekstrakulikuler Pramuka. Dia sangat lucu dan cerewet. Itulah kesanku dengannya. Dulu aku dekat dengan dia, meskipun aku juga dekat dengan teman-teman yang lain. Dulu kita pernah saling curhat tentang kehidupan pribadi kita masing-masing terutama urusan percintaan. Memang tak ada yang lebih mengasyikkan dari 2 orang teman wanita jika tidak membicarakan hal yang berkaitan dengan asmara.

Setelah sekian puluh tahun aku tidak pernah lagi dengar kabarnya sekarang kita dipertemukan lagi melalui sosial media, whatsapp. Dan ternyata tidak ada yang berubah sekalipun dari karakternya. Dia masih saja lucu dan cerewet. Dan masih saja kami menceritakan hal-hal pribadi kami, atau cerita-cerita masa lalu yang mungkin belum semuanya diketahui. Kami sering tertawa-tertawa sendiri jika mengenang masa lalu, dan berulang kali terbelalak, shock. Oooo....ternyata begitu....oooo...ternyata begini.

Satu hal ide gila yang pernah muncul diantara kami berdua adalah membeli satu gamis yang sama baik warna maupun motifnya, lalu masing-masing kami berfoto dan hasil fotonya kami sandingkan. Segitunya ya sampai-sampai harus dibelain beli gamis. Dan...... tanpa kita sadari ternyata motif gamis kami itu sangat mirip dengan motif taplak meja. Mmmmm....dapatlah bahan ejekan di grup pramuka untuk membuli kami. Tapi masing-masing kami untungnya tidak ada yang gampang tersinggung sehingga semua itu hanya kami jadikan lelucon dan fun saja.

(Lilik-Churma)

Terkadang kalau lagi senggang, tak lupa aku video call dia hanya sekedar ingin menyapanya. Mmmm....bahagia masih bisa dekat dengan teman lama meskipun sudah terpisah jarak.

Aku, Vera, Tinuk dan Retno

Persahabatan Bagai Kepompong. Pernah dengar lagu itu? Pasti pernah dong ya. Dan aku yakin masing-masing kamu pasti punya beberapa teman dekat yang membuatmu begitu nyaman jika berada di dekat mereka. Kamu bisa bercerita apa saja tanpa malu-malu, tanpa jaim, dan apa adanya. Yah.... aku juga punya beberapa teman yang juga bisa membuatku begitu nyaman jika berada di dekat mereka.

Kami tak punya nama khusus untuk menamai pertemanan kami. Karena kami dekat dan terbentuk secara alami. Kami tak ada ikatan khusus yang mengikat kami sehingga kami harus terus selalu bersama. Tidak. Masing-masing kami bebas menentukan jalan hidup masing-masing. Urusan cowok pun kami juga tidak terlalu ikut campur.

Aku, Novera, Dwi Agustiningrum (tinuk) dan Retno Puja. Itulah kami berempat. Kami tidak pernah satu kelas secara bersamaan. Kami juga tidak pernah mendaftarkan diri untuk mengikuti ekstrakulikuler bersamaan. Justru kami cenderung memiliki hobi yang berbeda-beda. Kami bertemu dan mulai sering berkumpul justru saat-saat akan kelulusan SMU di kota kecilku dulu. Dan terus berlanjut sampai masing-masing kami harus melanjutkan kuliah ditempat-tempat yang berbeda. Aku kuliah Arkeologi di Jakarta, Vera Perikanan di Malang, Tinuk PGSD di Malang dan Retno Bidan di Kediri. Namun setiap ada libur atau kesempatan pulang, aku selalu mencari mereka atau setidaknya salah satunya.

Pertama kali aku dekat dengan Vera saat masih SMP. Sejak kelas 1 SMP entah mengapa aku sudah dekat begitu saja dengan Vera. Banyak hal yang aku ceritakan ke dia terutama urusan percintaan. Pertemanan kami terus berlanjut sampai SMA. Di SMA kelas 2 aku bertemu Tinuk karena kami satu kelas di 2-2. Sebelumnya kami juga sudah kenal bahkan dia satu SMP juga denganku. Namun baru kelas 2 inilah aku bisa dekat dengan Tinuk. Di kelas 3 IPA5 aku kenal lagi dengan Retno Puja dan entah alasan apa tiba-tiba aku bisa dekat begitu saja dengan dia.

Aku sangat suka bermain dan bertamu ke rumah teman. Dan tanpa kusadari di ketiga rumah temanku inilah aku sering menghabiskan waktuku. Biasanya aku awali main ke rumahnya Tinuk, lalu kami cerita-cerita dan punya ide untuk main ke rumahnya Vera. Disana kami cerita-cerita dan berencana main ke rumahnya Retno. Begitu akhirnya kami menghabiskan waktu kami di rumahnya Retno sambil sesekali melirik pohon mangga yang juga mulai tercium aromanya.

Pernah suatu ketika kami berencana untuk melakukan foto studio. Entah mengapa tercetus begitu saja ide tersebut. Namun dengan ide itu justru membuat kami memiliki dokumentasi masa lalu yang mana masih bisa kami kenang sampai sekarang. Jangan tanya suka duka nya. Pasti ada. Namun entah mengapa, dalam ingatanku sekarang tak ada satu pun duka yang aku ingat. Yang aku ingat hanya bagaimana aku mengganggu Tinuk yang suka tiba-tiba datang ke rumahnya tanpa kutahu dia ada atau tidak. Mungkin kalau Vera, agak sungkan untuk bertamu ke rumahnya namun ya tetap saja aku sering main ke rumahnya. Begitu juga dengan Retno. Betah aku berlama-lama main kerumahnya yang biasanya sepi atau sekedar menghampirinya untuk berangkat les.

Setelah menikah memang sempat aku lost contact dengan mereka. Namun senang sekarang akhirnya bisa terhubung lagi dengan mereka. Tak terasa begitu banyak perubahan yang terjadi diantara kami. kami masing-masing sudah bersuami dan beranak. Namun rasanya masih saja seperti dulu. Aku rindu bertemu dengan mereka semua. Semoga berkesempatan lagi untuk bisa menyapa mereka.

(Tahun 2003??)


(Tahun 2018)



Senin, 15 Januari 2018

Novel Mengalihkan Duniaku

Membaca novel memang memiliki keasyikan tersendiri bagi beberapa orang. Mulai dari alasan mengisi waktu senggang sampai sesuatu yang lebih bersifat profesional (baca. tuntutan pekerjaan sebagai editor). Ada yang hanya sekedar ingin membaca, ingin tahu ceritanya, selesai. Sudah. Tutup. Ada juga yang terbawa suasana, perasaan dan butuh waktu untuk move on sampai ada juga yang mau disibukkan untuk mereview isi ceritanya. Intinya, masing-masing orang memiliki caranya tersendiri dalam menyikapi novel yang sedang dia telusuri.

Aku juga salah satu dari sekian banyak orang yang menyenangi novel. Apalagi ketika aku menemukan cerita yang begitu pas dan mengasyikkan, aku bisa lupa waktu hanya sekedar ingin segera merampungkannya. Namun ketika muncul rasa malasku dan biasanya ditambah dengan alur cerita yang menurutku kurang menarik, beberapa novel akan terpending untuk kuselesaikan. Dan aku akan berpindah ke novel yang lain dan yang lain lagi sampai aku menemukan cerita yang menurutku menarik. Alhasil, di rak bukuku, beberapa novel masih terdapat lipatan atau pembatas buku di salah satu halamannya yang entah kapan bisa aku selesaikan. Padahal mungkin aku sudah cukup lupa dengan alur ceritanya dan terpaksa mengulang lagi dari awal dan biasanya terpending lagi.

Berbicara tentang beberapa novel yang aku sukai, ada pengalaman-pengalaman yang menurutku seru dan tidak bisa kulupakan. Salah satunya novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy. Pertama kali aku mengetahui novel tersebut dari salah satu teman kosku saat kuliah dulu di Depok. Temanku yang lulusan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI ini memang memiliki karakter pendiam dan sangat Islami, cocok sekali dengan novel yang dia miliki. 

Karena dengan ringannya dia meminjamkan novelnya padaku, aku langsung mengiyakan dan mulai membacanya. Lembar demi lembar aku selesaikan dan aku mulai menemukan keasyikan tersendiri akan ceritanya. Aku mulai berimaginasi dengan tokoh-tokoh utamanya, misalnya Anna Althafunnisa. Aku sudah memiliki bayangan di kepalaku sendiri bagaimana sosok Anna ini digambarkan. Saking senangnya aku dengan alur cerita KCB 1 dan 2 ini, kemana-mana aku pergi selalu kubawa. Dimanapun aku mendapatkan waktu senggang aku segera membacanya. 

Saat-saat terakhir aku akan menyelesaikan KCB 2 tiba-tiba teman kosanku yang lain mengajak aku untuk jalan ke mal. Aku tak bisa menolak, karena mal adalah hobi keduaku setelah membaca novel. Segera aku iyakan dan tak lupa juga kumasukkan dalam tas novel KCB 2 itu. Tetiba di mal, temanku ini minta ditemani untuk merapikan rambutnya ke Salon Rudi Hadisuwarno. Well... aku ikuti saja apa mau dia dan bisa jadi itu kesempatanku untuk bisa merampungkan novel yang aku bawa. 

Selama proses nyalon berlangsung, aku duduk diruang tunggu dan mulai berselancar dengan KCB 2. Temanku terheran melihat aku, "tak ada apa waktu lain untuk membaca itu sampai-sampai ke salon harus bawa novel". Aku cuma tersenyum dan kembali membaca. Ketika temanku selesai, dia segera menghampiriku dan mengajak keluar. 

"Ha? Cepat sekali.... lagi dong... nyalon lagi... ntar lagi abis nih......", kataku. 

"Ahhh... gila lu chur... udah selesai mau ngapain lagi? Udah 2 jam lho kita disini...", kata temanku. 

"Ya udah... bentar lagi ya.... bentaaaarrrr lagi.... nanggung soalnya....", kataku. 

"Idihhh... malu tauuu... nongkrong nggak jelas disini", jawab lagi temanku. 

Alhasil aku digeret paksa temanku, dengan posisi mata masih melototin novel yang hanya 3 lembar lagi selesai. Buru-buru aku selesaikan baca itu sambil berjalan dan akhirnya selesai juga. Lega. 

"Kereeennnn banget sar... lu harus baca dehhh...." 

"Ahhh.... males... ntar lu critain aja deh ma gue". 

Temanku tak menghiraukan aku dan langsung menarikku ke kerumunan ibu-ibu yang sedang berebut memilah baju. Bagiku peristiwa merampungkan sebuah bacaan novel ada keasyikan tersendiri dan ingin rasanya tidak diganggu untuk urusan di luar itu. Dan apabila kedua hal itu disatukan, akan muncul kejadian-kejadian aneh seperti yang pernah aku alami ini.

Tidak hanya itu, ketika aku sudah pindah di Medan.... aku juga dipinjami satu novel oleh salah satu teman cowokku (kini jadi suamiku). Novel tersebut berjudul 'The Historian' karya Elizabeth Kostova. Novel sejarah ini berkisah tentang seorang perempuan bak detektif yang mencari sosok Drakula dan lika-likunya. Novel tersebut membuatku begitu tertarik untuk terus membacanya. Buku setebal 768 halaman itu tak membuatku keder untuk menyelesaikannya. 

Suatu ketika, saat aku sedang asyik-asyiknya membaca karena pada bagian itu ceritanya begitu seru tiba-tiba mati lampu. Selesai sudah. Namun karena aku begitu penasaran dengan kelanjutannya dan tak sabar menunggu lampu menyala di kos-kosanku, aku segera mengambil senter hp dan kembali lagi membacanya. Beberapa temanku terheran-heran melihat tingkahku. 

"Kakak ngapain gelap-gelap gitu....? Ada kerjaan deadline kantor ya kak?" 

"Hehehe.... nggak... cuma lagi baca novel" jawabku. 

"Ya Allah kak.... nanti aja napa". 

"Hehehee.... iya tanggung soalnya". 

Menurutku hal semacam itu merupakan tindakan konyol bagi para pembaca novel. Tidak harus segitunya juga kali kita dalam membaca sampai-sampai harus mengalihkan kehidupan nyata kita. Tapi beruntungnya aku tidak sering melakukan tindakan-tindakan konyol tersebut. Dunia nyataku juga membutuhkan perhatianku dan seharusnya aku juga memperhatikan sekitarku. 

Semoga kejadian-kejadian seperti itu tidak terjadi pada kamu ya..... hei para pencinta novel.

(Dok. Searching Google)





Minggu, 14 Januari 2018

Bujang Lapuk dari Pulau Biang

Sedang asyiknya membaca Novel Dwilogi Padang Bulan, terdapat beberapa cerita yang terkait dengan bujang lapuk. Ingatanku langsung mengembara jauh pada satu peristiwa beberapa tahun silam (sekitar tahun 2014). Tepatnya ketika aku mengikuti kegiatan penelitian di kantor tempatku bekerja. Pada sebuah pulau kecil di jajaran Kepulauan Batu, Nias Selatan.

Kepulauan Batu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Nias Selatan yang beribu kota di Pulau Telo. Di Pulau Telo itulah kami menginap setiap harinya. Untuk memenuhi kepentingan penelitian kami melakukan survey di beberapa tempat yang ada di wilayah kepulauan tersebut. Dengan perahu mesin nelayan kami melintasi Samudera Hindia menuju beberapa pulau yang menjadi objek penelitian kami. Sesekali ombak menghadang namun sesekali juga cuaca tenang. Meskipun demikian tak pernah sekalipun pelampung terlepas dari tubuhku, demi satu tujuan, safety

Pada satu pulau, kami mendarat dengan kondisi seadanya. Melompat dengan celana bagian bawah basah sudah menjadi rutinitas kami setiap akan turun dan naik perahu. Ombak yang begitu besar di tepian membuat kami harus sigap dan cepat bergerak.  Di pulau itu juga terdapat beberapa kampung yang mencirikan perkampungan tradisional masyarakat Nias. Pulau Biang. Itulah nama pulau tersebut.

(Foto bersama Kepala Desa Limo Biang)

Pulau tersebut secara administratif masuk kecamatan Pulau-pulau Batu Utara (tidak di Kecamatan Pulau-pula Batu). Terdapat Kampung Hiligo'o yang masuk dalam Desa Limo Biang. Selain itu terdapat juga Desa Jiabiang. Menurut informasi, dulunya kampung ini dihuni oleh orang Nias bermarga Duha yang datang dari daratan Nias Selatan. Marga ini juga yang kemudian merantau ke Aceh lalu memeluk Agama Islam dan memiliki marga Polim. 

Masyarakat Nias sangat pemalu, terutama perempuan. Mereka tidak terbiasa kedatangan tamu asing sehingga ketika kami tiba disana, terlihat wajah heran di mereka. Para perempuan hanya berani mengintip di balik jendela dan sesekali kudengar bisikan-bisikan mereka yang tak kumengerti artinya. Seperti biasa, setelah mendapatkan arahan dari Kepala Desa, kami dipersilakan untuk melakukan penelitian. Objek-objek tinggalan budaya berupa benda (artefak) menjadi fokus penelitian kami. Memotret, mengukur, dan mendeskripsikan data menjadi bagian tugas yang harus aku lakukan.

Satu hal yang paling kuingat di tempat tersebut, adanya satu orang bapak yang mungkin kutaksir usianya sekitar 50-60 tahun sangat aktif mengikuti kemana kami pergi. Dia sangat penasaran ingin mengetahui apa yang sedang kami kerjakan. Tak heran kami diperlakukan seperti itu. Di tempat lain pun kami menghadapi hal serupa. Aku lihat dari raut wajahnya, dia sangat bahagia dan menyambut hangat kedatangan kami. Dia sangat ramah dan murah senyum. 

Sayangnya dia tak mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Hampir semua percakapan yang dilakukannya menggunakan bahasa Nias. Beruntung ada salah satu tenaga lokal kami yang mampu menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Tanpa aku sadari dia mencoba untuk terus berkomunikasi kepadaku. Aku dengan penjelasan yang seadanya mencoba untuk menanggapinya sekedar menghormati. Sesekali dia minta foto, dan aku sangat senang memotret beliau. Bahkan dia sempat minta juga foto bersama dan berharap foto yang sudah ada dicetak dan dikirimkan kepadanya nanti. 

Tak terasa hampir setengah hari kami berada di pulau tersebut dan waktunya untuk berpamitan.  Masih ada pulau-pulau lain yang harus kami singgahi. Bapak itu dengan antusias meminta nomor hp ku. Dia minta kertas dan pulpen untuk dicatatkan nomorku. Teman-teman yang lain tak berhentinya tertawa melihat tingkah kami berdua. Setelah kami naik perahu, pelan-pelan kami meninggalkan pulau Biang yang perlahan mulai mengecil. Kulihat bapak tua itu berdiri terpaku sendiri melihat kepergian kami. Aku menerka ada perasaan hilang yang muncul dalam benaknya. 

Setelah dijelaskan salah satu rekan yang mampu berbahasa Nias, ternyata bapak tua tersebut menaruh simpati terhadapku. Bapak tua tersebut belum pernah menikah bahkan usianya yang semakin senja. Aku shock dan tentunya itu menjadi bahan tertawaan kami. "Siap-siap kau dipersunting ma...." hahhaha....tertawa aku mengenang kejadian itu. Masih ada beberapa tempat yang harus kami kunjungi dalam beberapa hari ke depan sebelum kami kembali ke Medan.

Aku mengira, kepergian kami tersebut maka berakhirlah cerita tentang pak tua dari Pulau Biang. Ternyata setelah beberapa hari kami kembali ke Medan, disitulah cerita dimulai. Hampir setiap hari telepon berdering dengan nomor yang tidak kukenal. Aku angkat, ada suara lelaki di seberang yang mencoba untuk berkomunikasi denganku. Namun sayang, aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang dia ucapkan. Aku tak mengerti bahasa Nias sama sekali. Makin lama aku tahu dan baru teringat bahwa teror itu berasal dari bapak tua yang aku temui di Pulau Biang. Bahkan telepon itu masih saja sesekali aku dengar meskipun tahun-tahun sudah mulai berganti. 

Dari sisi perempuan, tentunya itu satu hal yang sangat menyebalkan. Namun sisi lain ada rasa simpati yang terbersit dihatiku. Begitu gigihnya usaha bapak tua itu dan yang membuatku terharu, adanya harapan akan mimpi yang ingin dikabulkannya. Begitu polosnya orang-orang dari kampung terpencil di seberang sana sampai-sampai dia tak tahu apa makna dari sikap seorang perempuan yang telah menolaknya. 

Jujur, aku kasihan sebenarnya jika teringat bapak tua itu, namun aku hanya bisa berdoa semoga yang terbaik selalu untuk dia sampai usianya yang semakin menua. Dan semoga segera menemukan jodoh yang mau mendampinginya sampai maut memisahkan.

(Bapak Tua dari Pulau Biang)

Sabtu, 13 Januari 2018

Anak Rantau

Judul Anak Rantau ini aku sadur dari sebuah novel karya Ahmad Fuadi yang berjudul Anak Rantau. Ahmad Fuadi merupakan salah satu novelis ternama di Indonesia dengan karya-karyanya yang best seller dan bahkan sampai ada yang di layar-lebarkan. Trilogi Novel Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara membawa A. Fuadi ini dikenal di kalangan pencinta novel Indonesia. Dan karya berikutnya yang juga begitu populer berjudul Anak Rantau.

Aku mengetahui novel Anak Rantau ini pertama kali dari seorang senior SMA sekaligus sahabat sekaligus kakak yang sangat terobsesi akan novel tersebut. Ketika ada kesempatan, akhirnya aku pun penasaran dan membeli novel Anak Rantau. Karena ternyata sahabatku ini belum membaca novel tersebut, akhirnya aku pun setelah merampungkannya, mengirimkan padanya. Sekedar ingin berbagi cerita akan isi Anak Rantau dan sekaligus ternyata sangat menarik sekali novel Anak Rantau ini untuk dijadikan buah tangan. Terlepas dari isinya yang begitu menarik, sampul dan pembatas buku nya menurutku sangat mengesankan. Sebagai buah tangan, tak lupa aku sisipkan sepatah dua kata pada lembar pertamanya.

'Dengan merantau aku merasa kecil dan masih harus banyak belajar'

Begitulah kira-kira kalimat yang aku sisipkan pada lembar pertamanya. Satu kata yang menjadi perhatianku adalah kata 'rantau'. Belum lagi aku membaca isinya, pikiranku langsung melayang dan membayangkan bagaimana kata 'rantau' ini digunakan oleh beberapa orang yang telah meninggalkan kampung halamannya dan jadilah dia sebagai seorang perantauan. Ada perasaan tersendiri ketika kita menyebutkan kata rantau. Ada perasaan sedih, bimbang, penuh harap dan tentunya ada mimpi-mimpi yang tersematkan dalam benaknya. 

Aku adalah anak rantau. Aku memulai kisahku sebagai anak rantau setelah lulus SMA yaitu tahun 2002. 16 tahun sudah aku berada di tanah orang. Dulu...ketika aku masih SD atau SMP, setiap subuh aku dengar suara keras kereta api yang menandakan bahwa kereta tersebut sedang berhenti di stasiun kota kecilku. Dan ketika suara itu menggema, pikiranku langsung melayang jauh dan membayangkan bagaimana rasanya bisa merantau atau pergi jauh. Keinginan menggebu untuk merantau memang sudah kuat ada dari masa kecilku. Aku membayangkan hidup susah di sebuah kos-kosan kecil dengan uang pas-pasan sudah sering aku andaikan dulu saat masih di kampung halaman. 

Dan saat aku memutuskan untuk kuliah di Jakarta, mimpiku menjadi seorang perantauan akhirnya terkabul. Dan semua cerita aku mulai di stasiun kecil itu. Meskipun apa yang aku alami tidak se-ekstrim sebagaimana bayanganku dulu, namun aku betul-betul merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang perantauan, apalagi dengan jarak yang tidak sangat dekat dengan kota kecilku. Suara kereta api yang setiap pagi aku dengar dulu, kini ternyata aku baru tahu bahwa itu kereta api yang baru saja tiba dari Jakarta dan masih harus melanjutkan perjalanannya sampai ke stasiun akhir di Surabaya atau Malang. 

Segala rasa sedih, duka bahkan senang pun aku lalui di tanah rantau, Jakarta. Banyak hal yang bisa aku pelajari di sana, tidak hanya di bangku kuliah namun justru di luar itu. Kehidupan metropolitan membentukku menjadi pribadi yang lebih keras kepala, acuh, dan bisa dibilang sedikit slengekan. Aku sadar itu semua adalah proses pembelajaran atas jalan hidupku. Ada hal yang bisa aku kenang namun ada juga beberapa hal yang mulai aku hapus dari ingatanku. 

Tak puas hanya di Jakarta, setelah lulus aku malah punya mimpi ingin merantau lebih jauh lagi yaitu ke luar pulau Jawa. Aku tidak begitu menyukai kehidupan di Jakarta. Aku dulu sering membayangkan bagaimana jika aku seorang perempuan yang sudah berkeluarga dan harus bekerja. Pergi subuh pulang Isya. Aku tak menginginkan hidup seperti itu. Dan entah mengapa justru nasib membawaku ke Pulau Sumatera, tepatnya di Medan Sumatera Utara, pada tahun 2008.

Berbeda dengan Jakarta, di Medan meskipun disebut kota Metropolitan ketiga setelah Surabaya, namun ternyata kondisinya sangat jauh berbeda dengan Jakarta. Apalagi aku tidak berada betul-betul di tengah kota. Tepatnya di perbatasan antara Medan dan Deli Serdang. Aku mulai mengenal masyarakat Medan yang notabene ber-etnis plural. Ada Melayu, Batak, Karo, Mandailing, Minang, Aceh, Cina, India, Jawa, Nias dan masih banyak etnis lainnya yang melebur jadi satu di kota ini. Namun karakter kesukuannya yang masih kental membuatku agak berbeda dalam menyikapi pertemanan yang sangat bertolak belakang dengan teman-temanku di Jakarta. 

Cara bersikap pun aku harus bisa menyesuaikan diri. Di Nganjuk, kota kecilku, Jakarta, dan Medan sangat berbeda dalam menghadapinya. Shock Culture? Pastinya. Aku butuh waktu untuk bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Rasa kebertolakan akan kondisi yang ada juga pernah aku alami ketika awal-awal merantau baik di Jakarta maupun di Medan. Namun aku bertekad aku harus mampu menjalaninya. Dan tak terasa 16 tahun sudah aku melalui itu semua dan masih saja aku berada di tanah rantau, Medan.

Rindu kampung halaman? Jangan tanya. Aku bersyukur minimal setahun sekali pasti pulang ke kampung halamanku. Buatku itu ritual wajib yang harus aku lakukan meskipun harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit dan kelelahan yang sangat menguras tenaga, karena semua itu aku lakukan ketika Lebaran tiba. Masih betah di tanah rantau? ya... masih. Aku mudah betah tinggal dimana saja, jadi buatku tidak ada masalah dengan pertanyaan itu. Nggak ingin pulang kampung? ingin banget. Aku masih bermimpi ketika usia senja nanti aku akan pulang ke kampung halamanku dan menghabiskan sisa waktuku disana. Bahkan sampai di usia 35 ini ketika aku pulang ke kota kecilku saja, aku masih merasa diriku di usia SMA dan lupa bahwa aku sudah bekerja dan berkeluarga. 

Sampai-sampai salah satu keponakanku yang kini telah beranjak dewasa mencandaiku, "Mbak Churma kok nggak berubah, masih kaya anak-anak saja". 

(Buah tangan untuk sang sahabat sekaligus kakak)

Jumat, 12 Januari 2018

Aku, Kliping dan Perpustakaan

(Perpustakaan Balai Arkeologi Sumatera Utara, Dok. Pribadi)

Berlangganan koran adalah kebiasaan kantorku dari dulu, mulai dari koran bertaraf Nasional Kompas, bahkan koran-koran regional seperti Analisa, Waspada, dan dulu pernah Sinar Indonesia Baru (SIB). Berkat arahan dari kepala yang lama, kantor kami diwajibkan dari pihak Perpustakaan untuk mengkliping beberapa berita dan artikel-artikel terkait Arkeologi, Sejarah atau ilmu-ilmu lain. Setiap harinya, itulah salah satu pekerjaan petugas perpustakaan yaitu mengkliping koran.

Aku masuk di kantorku tahun 2008, dan sebenarnya dari kepala aku diarahkan untuk berada di bagian administrasi. Tapi entah mengapa 'sepertinya ada latah langkah' yang membuatku sering berada di perpustakaan. Aku bukan orang yang sangat kutu buku, menyukai buku iya apalagi novel, namun jika dibilang kutu buku tidak juga. Aku kurang begitu menyukai pekerjaan yang bersifat administrasi, dan akhirnya lama-lama aku diberikan tugas yang berkaitan dengan perpustakaan. Mulai dari melabel buku, melakukan penomoran sampai juga mengkliping koran.

Mungkin sebagian besar orang menganggap bahwa jika dia ditempatkan di bagian pepustakaan itu berarti dia sangat sangat tidak dibutuhkan dalam diagram kepegawaian. Bisa dikatakan itu lokasi bagi orang-orang buangan yang mungkin seharusnya dipensiunkan atau apa lah istilahnya. buat aku itu salah besar. Justru aku menemukan keasyikan tersendiri dalam mengerjakan pekerjaan perpustakaan. Aku sangat tertarik dalam hal pelabelan bahkan akhirnya aku menemukan kode khusus yang ternyata memang digunakan sebagai standar umum penomoran buku yang biasa disebut DDC. Sebelumnya perpustakaan kantorku hanya menggunakan kode lokal yang dibuat sendiri dan hanya kita yang tahu. Tidak hanya DDC, program Senayan Slim juga akhirnya aku gunakan untuk mendokumentasikan buku-buku secara digital, meskipun sampai sekarang pun pendokumentasian itu belum juga usai.

(kliping-kliping, Dok. Pribadi)

Satu hal lagi yang menurutku begitu sangat mengasyikkan bahkan sampai membuatku lupa waktu pulang dan makan siang, yaitu mengkliping. Sebagian besar orang menganggap bahwa mengkliping itu pekerjaannya anak SMA, bahkan anak SD pun mampu melakukannya. Aku sungguh tak mempedulikan pandangan itu. Aku suka mengkliping koran-koran yang menjadi langganan kantorku. Beberapa kliping mulai tahun 1990an yang belum sempat dirapikan dan diselesaikan akhirnya pelan-pelan mampu aku selesaikan. Beberapa issu terkait temuan arkeologi tentunya aku gunting dan aku buatkan kliping. Belum lagi hal-hal yang berkaitan dengan sejarah, antropologi ataupun issu-issu budaya lainnya juga tak lupa aku tandai untuk dijadikan kliping.

Namun, aku sadar. Aku bukan orang perpustakaan. Aku dijadikan PNS dengan formasi Jurusan Arkeologi dan aku dikader untuk menjadi seorang Peneliti Arkeologi. Salah satu seniorku pernah menasehatiku. Ingat, kamu seorang peneliti. Kamu harus bisa membagi waktu dan pikiranmu antara mengurusi perpustakaan dan menulis juga penelitian. Dan aku sadar, aku tidak mungkin melakukan itu semua. Apalagi dijajaran instansiku menganjurkan untuk bekerja sesuai kinerja.

Pelan-pelan mulai aku tinggalkan pekerjaan perpustakaanku. Aku mulai melatih diriku untuk menulis Ilmiah dan tentunya aku masih saja bergelut di ruangan perpustakaan. Namun karena pekerjaan perpustakaan yang akhirnya lama-lama menumpuk, akhirnya aku mengundurkan diri dari ruangan perpustakaan. Aku memiliki ruangan tersendiri dengan status sebagai seorang peneliti. Namun, ketika aku singgah di perpustakaan rasa ingin menyentuh pekerjaan itu masih sangat membara, meskipun aku sadar aku tak mampu melakukan semuanya.

Melihat deretan-deretan jilidan kliping di rak buku rasanya ingin aku tersenyum sendiri, mengingat banyak hal yang terjadi antara aku, kliping, dan perpustakaan di masa laluku. Kami bertiga sangat menikmati kedekatan kami sampai bisa melupakan waktu yang terus berjalan. 

Kamis, 11 Januari 2018

Hidup Tanpa AC

(dok. searching Google)

Di era sekarang ini begitu banyak hal dituntut cepat dan instan dengan alasan kepraktisan dan tidak buang-buang waktu. Semua itu demi apa? demi sebuah kenyamanan hidup. Oleh sebab itu banyak sekali fasilitas pendukung kehidupan kita yang diciptakan mulai dari mesin cuci, kulkas, mie instan, dan masih banyak lagi produk-produk instan lainnya. Apakah aku ikut menikmatinya? apakah aku turut memanfaatkannya dalam kehidupan sehariku? pastinya.

Kalau boleh jujur, sulit kita terlepas dari itu semua, apalagi kita hidup di sebuah kota besar dengan pekerjaan yang juga menuntut semua serba cepat dan tepat. Ada fasilitas lain yang agak sedikit mengganguku dalam mengikuti trend instan ini, yaitu penggunaan AC. Kita semua tahu bahwa sebagian besar bangunan baik itu rumah pribadi maupun perkantoran menggunakan AC. Untuk apa? tentunya demi sebuah kenyamanan dengan cara instan, yaitu mendinginkan sebuah ruangan dengan cepat tanpa harus mencari udara luar dengan angin sepoi-sepoinya.

Sudah sangat sulit memang mendapatkan hembusan angin sejuk apalagi di sebuah kota besar. Mungkin kalau aku tinggal di pusat kota dengan kantor yang juga bertingkat sehingga nyaris tidak memiliki jendela aku tidak akan bisa menghindarkan diriku dari penggunaan AC tersebut. Namun aku beruntung memiliki kantor dan rumah yang berlokasi di perbatasan antara Medan dan Deli Serdang sehingga udara sejuk masih bisa aku dapatkan.

Kantorku memiliki konsep terbuka dengan pintu jendela yang besar-besar di kanan kirinya, dengan suasana pohon yang rindang, sekitar pun masih terlihat banyak lahan-lahan kosong dengan beberapa perumahan-perumahan yang mulai menjamur. Begitu juga dengan rumah yang sekarang aku tinggali. Meskipun hanya berukuran 6 x 16 meter namun memiliki jendela yang semuanya mengakses ke luar ruangan. Dan dengan kondisi itu semua membuatku akhirnya memutuskan untuk tidak menggunakan AC dalam setiap harinya, meskipun sebenarnya di kantor telah bertengger cantik di ujung ruangan.

Beberapa kali anakku merengek minta dipasangkan AC, aku dan suami hanya bisa mengatakan ya nanti ya. Namun selang bertahun-tahun kemudian tak pernah terpikirkan lagi oleh kami untuk memasang AC barang sebiji pun di rumah. Sebenarnya bukan karena alasan yang kuat untuk tidak memasang AC di rumah kami, apalagi alasan yang lebih idealis seperti misalnya go-green atau ramah lingkungan. Hanya saja tidak pernah sekalipun terpikirkan kami untuk membelinya. Simpel. Dan efeknya sangat menyenangkan bagiku dan keluarga. Pengeluaran untuk membayar listrik tidak terlalu membengkak.

Aku sadar, demi membayar sebuah harga kenyamanan akan didapatkan sebuah efek samping. Banyak informasi dari beberapa temanku yang anaknya harus menginap di rumah sakit dengan beberapa diagnosa penyakit mulai dari batuk, pilek, gangguan pernafasan bahkan ada yang polip. Sampai-sampai anak mereka harus diuap atau apapun istilah medisnya itu, dengan tujuan untuk menormalkan kembali kesehatan anaknya. Aku bukan dokter, namun dari beberapa teman yang aku tanyakan hampir semuanya memasang AC di rumah mereka. Bahkan penggunaan yang terus menerus agar si anak merasa nyaman, adem dan tidak berdebu. Aku hanya bisa berucap, cobalah untuk kurangi AC ya....lumayan bisa hemat bayar tagihan listrik.

Semakin hari semakin tidak aku pedulikan lagi tentang apa itu harga diri atau nilai sebuah prestise yang mana jika melihat kemapanan seseorang bisa dilihat salah satunya dengan memasang AC di rumahnya. Begitu juga di kantor. Hampir semua teman kantor berlomba ingin ditambahkan kualitas AC nya agar ruangannya semakin dingin dan nyaman, aku malah memutuskan untuk membuka daun jendela lebar-lebar agar hawa dingin luar masuk ke ruanganku. Nyaman tidaknya itu semua memang tergantung kebiasaan kita. Dan aku sampai saat ini masih merasa baik-baik saja dan bisa bekerja dengan optimal dengan kondisi semilir angin luar.

(dok. searching Google)


Cintai bumimu.... cintai keluargamu...... dan cintai dompetmu....


Rabu, 10 Januari 2018

Ketiban Sampur

Kalau kita orang jawa pasti sudah tahu apa arti istilah ketiban sampur ini. Jika menelisik dari pengertian frase tersebut, ada 2 makna yang bisa dipahami. Pertama, orang awam banyak mengenal istilah ketiban sampur ini sebagai suatu kondisi yang mana menimpa seseorang tanpa dia inginkan, baik itu berupa limpahan tanggung jawab maupun pekerjaan berat. Kedua, ternyata istilah ketiban sampur ini sangat familiar di dunia per-tayub-an. Tayub adalah seni pertunjukan Jawa yang mana ada seorang penari perempuan yang diiringi gamelan, menari-nari dan tentunya ada penonton yang sedang menikmati tarian tersebut. Kemudian sang penari mendatangi salah satu penonton, lalu mengalungkan (sampur) selendangnya dan mengajaknya maju ke depan dan ikut menari. Penonton yang terkena sampur itulah yang dinamakan ketiban sampur.

(dok. searching Google)

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita dihadapkan pada suatu kondisi yang mana tanpa kita inginkan kita masuk dalam lingkaran suatu hal, biasanya suatu rapat yang berdebat. Hal ini baru saja aku alami akhir-akhir ini. Pada saat ada kegiatan rapat di kantorku, saat Kepala kami memaparkan rencana kegiatannya di tahun 2018 ternyata ada salah satu rekan kantor yang tidak menyetujui kebijakan kepala tersebut.

Aku yang biasanya selalu menanggapi arahan kepala dengan senyum dan tertawa, sesekali menimpali dengan candaan, tanpa aku sadari ternyata salah satu rekanku menganggap aku sedang cari muka. Kebetulan salah satu rekanku ini sangat dekat denganku. Sampai akhirnya setelah rapat usai, dia mengkritikku. Aku bingung dengan kondisi ini. Terus salahku dimana? Tapi okelah....mungkin karena responku saat rapat yang terkesan sangat mendukung kepala sedangkan dia menentangnya, hal itu dianggap aku berseberangan dengan dia. Akhirnya dalam diskusi kami, dia banyak mencurahkan kekesalannya terhadap kebijakan kantor. Baiklah, dalam hal ini memang aku dijadikan teman curhatnya untuk melampiaskan segala kekesalannya. Menyalah-nyalahkan diriku juga hal yang sering dilakukannya karena mungkin dia menganggap sangat dekat denganku sehingga dengan mudahnya dia mengungkapkan semua isi hati nya.

Apakah itu yang dinamakan ketiban sampur? aku menganggapnya iya. Dan sering aku dikondisikan dengan hal-hal semacam itu. Memang biasanya karena faktor kedekatanlah yang akhirnya membuatku sering ketiban sampur. Kesel? ya pastinya. Tapi memang setelah itu aku tak pernah lagi memikirkannya, dan aku kembali ke kehidupan biasaku. Aku juga 'mungkin' senang karena teman-temanku bisa melampiaskan kekesalan-kekesalannya terhadapku sampai akhirnya mereka merasa lega dan kembali ke kehidupan biasanya.

Tempat sampah? mungkin sama artinya? entahlah. Namun jika aku ingin berkaca pada diriku sendiri, bukan saatnya lagi aku menibankan sampurku ke beberapa orang disekitarku. Mungkin yang terdekat adalah keluarga. Kasian mereka. Aku menemukan media lain untuk menibankan sampurku, yaitu MENULIS. cuma itu menurutku solusi terbaiknya. Dan itu sudah pernah aku lakukan sejak aku sekolah. Menulislah.... agar bebanmu berkurang. Agar tak ada lagi sekitar kita yang merasa tersakiti hatinya. 

Selasa, 09 Januari 2018

Laskar Pelanginya Andrea Hirata

Siapa yang tidak kenal Laskar Pelangi?

Kalo kita tanyakan ke semua orang pasti sebagian besar tau apa itu Laskar Pelangi. Minimal mereka pernah mendengarnya. Ya..... nama Laskar Pelangi mulai melejit setelah adanya film layar lebar berjudul Laskar Pelangi yang diadopsi dari novel dengan judul yang sama. Novel Laskar Pelangi sendiri, mulai awal-awal muncul sudah dikenal banyak orang, terutama para penikmat Novel Indonesia. Dan akhirnya dikenallah seorang pengarang novel yang tiba-tiba juga terkenal yaitu Andrea Hirata, yang tak lain adalah si pengarang Laskar Pelangi itu sendiri. Bersamaan dengan munculnya film Laskar Pelangi, mulai melejit juga satu lagu dengan judul yang sama yang dinyanyikan oleh grup band ternama, Nidji.

Aku sendiri begitu terhipnotis juga dengan istilah Laskar Pelangi ini. Mungkin sekarang ini sudah tidak terlalu. Tapi dulu, sekitar tahun 2007 (kalau tidak salah, seingatku) aku begitu menyukai novel Laskar Pelangi. Aku menemukan novel Laskar Pelangi ini di salah satu deretan toko buku dekat kampusku di Depok. Tepatnya di dekat stasiun kereta api UI. Deretan toko buku itu memang menjual buku-buku mata kuliah yang hampir 80% berupa buku-buku bajakan, selain juga buku-buku bekas. Tidak hanya buku-buku pembelajaran kuliah saja yang dibajak, namun beberapa novel bajakan juga aku jumpai di toko buku tersebut.

Seperti biasa, setiap ada waktu luang, aku sering singgah ke deretan toko buku tersebut sekedar untuk melihat-lihat. Dan dari situlah aku menemukan novel bajakan Laskar Pelangi. Aku lupa saat itu berapa harganya. Namun yang jelas jauh dibawah harga standar novel aslinya. Buat aku yang pada saat itu masih berstatus mahasiswi luntang-lantung dengan beban skripsi yang tak kunjung usai, dengan kantong pas-pasan, dan pekerjaan freelance yang kadang ada kadang tidak, memutuskan untuk membeli buku bajakan adalah pilihan utamaku. Ada perasaan bersalah memang ketika aku memutuskan untuk membeli sesuatu yang dibajak, namun saat itu aku tidak punya pilihan lain. Rasa penasaranku akan isi bukulah yang mendorongku kuat untuk membeli novel Laskar Pelangi Bajakan.

Dan....setelah aku baca....ternyata....aku begitu menyukai alur ceritanya. Aku begitu terpukau dengan kalimat-kalimat yang dituangkan dalam novel tersebut. Aku langsung mengagumi sosok Andrea Hirata, sang pengarang. Setelah aku merampungkan novel itu, aku kembali lagi ke toko buku tersebut dan ternyata kisah Lakar Pelangi ini ber tetralogi. Ada Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Aku mulai menyisihkan uang bulananku dan satu persatu buku bajakan itu berhasil aku kumpulkan. Aku bangga sekali melihat tetralogi novel Laskar Pelangi itu berderet rapi di rak bukuku.

Suatu ketika (kalau tidak salah tahun 2008), aku bertemu lagi dengan seniorku SMA di sebuah akun sosial media yang sangat populer saat itu, Friendster. Setelah aku lihat profilnya, ternyata dia juga mencantumkan sebuah novel kesukaannya yaitu Laskar Pelangi. Aku langsung antusias untuk menyapanya. Dan ternyata benar, dia juga sangat mengagumi novel tersebut. Dari situ juga aku tahu, ternyata dia punya mimpi ingin meneruskan studinya sampai ke LN. seingatku dia menyebut Australia sebagai mimpinya, seperti hal nya ikal yang akhirnya melanjutkan studinya ke Perancis (dalam tetralogi Laskar Pelangi).

Selang bertahun-tahun kemudian, karya Andrea Hirata tak pernah ada matinya. Setelah Tetralogi Laskar Pelangi, muncul Dwilogi Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas. Dan di tahun 2017, novel terbaru yang diterbitkannya berjudul Sirkus Pohon masih saja membiusku untuk selalu mencintai karya-karyanya. Memang aku sempat vakum tidak membaca karya-karya Andrea Hirata lagi. Aku mulai beralih ke novel-novel sejarah dan filsafat yang kalau boleh jujur agak berat aku merampungkannya. Namun ketika aku membaca karya-karya Andrea Hirata, aku begitu sangat menikmati dan sangat berantusias untuk terus membacanya.

Dan ternyata setelah aku berjumpa lagi dengan senior SMA ku itu melalui whatsapp, dia juga masih saja mengidolakan Laskar Pelangi dan tentunya Andrea Hirata. Dan aku yakin masih banyak penggemar-penggemar lain diluar sana yang mengidolakan sosok Andrea Hirata seperti kami. Meski mimpi seniorku ini untuk sekolah ke LN belum kesampaian, namun aku sangat salut dengan dia, semangat belajar dan jiwa mengabdinya begitu tinggi.


Teruslah berkarya Andrea Hirata, aku masih menunggu karya-karyamu selanjutnya. Terus, karyaku sendiri kapan dong?

NB. sebagai perasaan bersalahku pada Andrea Hirata karena telah berkontribusi membajak novel-novelnya, di tahun 2018 ini aku punya resolusi untuk membeli novel aslinya Tetralogi Laskar Pelangi. 

Tok....Tok.....Tok.....Assalamualaikum......

well.....tahun 2013?

di tahun 2013 aku udah buat blog yang kedua kalinya ya?

pengen tertawa aku sebenarnya pas buka lagi blog ku ini. awalnya cuma iseng pengen buat blog lagi. Pas lagi buka laman www.blogger.com eeee..... ternyata aku udah punya akun. Bahkan sebelum inipun aku juga udah punya blog, meski dengan laman yang berbeda. Setelah aku buka-buka postinganku terdahulu di blog ini ternyata isinya semua hal terkait bisnis online ku.

Masih pengen tertawa sebenarnya aku saat ini. Labil banget dan tidak konsisten sekali diriku. Dua kali buat blog dan dua kali juga aku membiarkannya kosong melompong. Rasanya kaya masuk rumah lama yang berdebu yang gak pernah lagi sang pemiliknya datang sekedar melihat-lihat apalagi membersihkan atau merapikannya.

Dan....yang ketiga kalinya inilah aku beniat datang lagi, mencoba mengetuk pintu blog ini lagi, masuk....lihat-lihat dan sesekali merapikan. lagi kepikiran juga saat ini untuk menempati blog ini lagi sekedar untuk cerita-cerita hal yang menurutku gak penting-penting amat tapi butuh untuk ngungkapin hati dan pikiranku.

Berharap bisa konsisten dan istiqomah untuk terus nulis di blog ini. Semoga.... Amin