Senin, 05 Maret 2018

Arok Dedes (Pramoedya Ananta Toer)

Satu hal yang paling aku sukai dari karya-karyanya Pak Pram adalah tentang penggambaran setting tempat dan alur ceritanya. Beliau mampu mendeskripsikan secara detail lokasi-lokasi yang menjadi latar cerita dan beberapa peristiwa besar dalam sejarah Nasional sehingga pembaca mampu membayangkan seperti apa kondisi saat itu. Beliau mampu menggabungkan cerita deskriptif dengan narasi yang begitu indah namun tidak terlihat bertele-tele atau istilahnya sekarang, lebay.

Salah satu novel yang saat ini sedang aku baca adalah Arok Dedes. Pasti sebagian besar kita sudah sangat familiar dengan kisah dua sejoli ini. Sebagian besar kita sudah sangat paham bagaimana alur cerita dari kisah tersebut. Tak perlu lagi aku ceritakan kembali bagaimana kisah itu berlangsung. Dan bagi yang belum tahu kisahnya, lebih baik segera mencari novel-novel tersebut baik dari karya Pak Pram sendiri maupun karya-karya dari novelis lainnya.

Kembali lagi aku masih saja mengagumi tokoh penulis penting ini, Pak Pram. Dalam novel Arok Dedes ini beliau sangat detail menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu. Novel yang memiliki tebal tidak kurang dari 550 halaman ini, dalam 1,5 hari saja bisa dirampungkan sampai 350 halaman, ntah karena memang aku penggemar gaya bahasanya Pak Pram ataukah memang novelnya yang membuat kecanduan untuk terus membacanya. 

Bagi kalian yang suka dengan hal-hal berbau sejarah atau masa lalu, atau sedang menekuti hal-hal yang terkait masa lalu terutama masa Hindu-Buddha di Indonesia, novel ini bisa sangat membantu. Terlepas dari keakuratan data sejarahnya, hal itu memang harus disinkronkan kembali dengan data-data sejarah yang ada. 

Keasyikan tersendiri bagi para pecinta novel sejarah adalah kita bisa mempelajari hal-hal terkait masa lalu dengan gaya bahasa yang lebih luwes dan tidak kaku seperti karya tulis ilmiah. Namun sebagai catatan, kita tidak bisa telan mentah-mentah informasi tersebut, kita seharusnya tidak mudah percaya dengan hal itu dan jika masih saja ingin mendalami data itu harus mencari sumber yang betul-betul valid, misalnya buku babonnya para sejarawahwan, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1-6. 

Namun begitu Pak Pram mampu menarasikan kisah yang berlatar belakang Kerajaan Kadiri ini di masa kepemimpinan Kertajaya (keturunan Raja Airlangga) dan hubungannya dengan kerajaan dibawahnya dengan raja kecil, Tunggul Ametung yang tidak lain adalah suami Ken Dedes. Dalam kisah itu juga menceritakan bagaimana seorang berkasta sudra bisa menjadi ksatria, bagaimana seorang berkasta brahmana ditaklukan oleh seorang ksatria berdarah sudra sehingga harga dirinya merasa direndahkan. 

Selain itu, Pak Pram mampu menceritakan adanya kronologi cerita kisah-kisah masa Hindu-Buddha sebelum berakhirnya Kerajaan Kadiri, adanya wangsa Isana dan Syailendra selama masih di daerah Jawa bagian tengah, lalu adanya hubungan dengan Sriwijaya, perpindahan ke wilayah timur sampai muncul Pu Sindok, Dharmawangsa Tguh, adanya hubungan dengan Udayana di Bali, dan semua  itu digambarkan dengan terperinci lengkap dengan kisaran angka tahunnya, yang dibuat dalam tahun Saka. 

Kisah Ken Dedes dan Ken Arok yang merupakan cikal bakal munculnya Kerajaan Singasari ini digambarkan dengan berbagai intrik-intrik dalam lingkup kerajaan, strategi-strategi terselubung untuk menumbangkan Akuwu Tunggul Ametung dengan seizin sang Brahmana Lohgawe. Adanya gambaran Gunung Kelud, Gunung Arjuna, Gunung Kawi, dan Gunung Penanggungan menandakan setting tempat tersebut berlokasi di daerah Malang dan sekitarnya. 

Dalam novel tersebut, digambarkan seorang perempuan dengan berpakaian hanya mulai dari bagian perut ke bawah. Sedangkan bagian atasnya bertelanjang dada. Berdasarkan relief-relief candi yang ada di Jawa baik itu di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, memang gambaran seorang perempuan berpakaian seperti itu, baik dia penganut Buddha, Hindu Siva maupun Hindu Visnu. Barulah pengaruh Islam masuk, para perempuan mulai menutup bagian dadanya. 

Dan masih banyak hal-hal lain yang bisa kita pelajari dari kisah novel tersebut. Selamat membaca dan teruslah berkarya.

(Dok. Pribadi, 2018)

(Dok. Pribadi, 2018)

Sabtu, 03 Maret 2018

Peter Rabbit

Pas tanggal 1 Maret gajian, pas juga anak lanang nagih minta nonton bioskop. Aku dan anakku Archan sepertinya tanpa kita sadari memiliki kebiasaan nonton bioskop berdua. Berawal saat dulu sang suami berangkat S2 di Yogyakarta, aku yang saat itu masih berdua dengan Archan banyak menghabiskan waktu akhir pekan kami dengan ngemall dan nonton bioskop. Sabtu jam 11 siang, setelah jemput sekolah langsung on the way ke Mall dan biasanya langsung menuju bioskop. Kebayang dong kalau anak kecil diajak nonton? ya... ujung-ujungnya tidur siang didalam. Namun daripada keliling nggak jelas yang ujung-ujungnya beli ini beli itu, ya bagusan nonton aja, pikirku. Lumayan bisa membuang waktu berdua.

Nahhh.... kali ini niatan awal kami sebenarnya memilih Black Panther, namun karena jadwalnya yang kesorean, kami akhirnya disarankan sama mbak mbak penjual tiket untuk menonton Peter Rabbit. Aaaa.... langsung dengan spontan Archan mengiyakan. Well.... karena ini film animasi dan menurutku sangat cocok untuk anak-anak, aku langsung membeli tiket untuk kami berdua. Sambil menunggu, kami sempatkan diri untuk nongkrong dilobi dan menikmati minuman serta makanan kecil kami.

Itulah enaknya nonton tidak di hari libur atau Sabtu-Minggu. Selain harga tiket yang lebih murah, pengunjungnya pun tidak bejibun. Dan saran lagi, mending nontonnya jangan pas baru rilis tu film, dijamin kehabisan tempat duduk. Dan kali ini dalam satu ruangan, hanya ada 6 orang penonton termasuk kami. Spektakuler. Berasa milik pribadi aja ya bioskopnya? Untung bukan film horor yang ditonton. Dan.... sajian Peter Rabbit siap dihidangkan.

(Dok. Searching Google)

Peter (James Corden) adalah tokoh utama dalam film ini. Seekor kelinci yang lincah dan nakal, bersama beberapa saudaranya mencoba untuk merebut rumah dan ladang milik Mr. McGregor (Domnhnall Gleeson). Film yang disutradarai oleh Will Gluck sekaligus penulis naskah bersama kedua rekannya Rob Lieber dan Beatrix Potter ini mengambil latar sebuah hutan dan desa kecil nan indah dengan berbagai jenis binatang-binatangnya. Peter bersama saudara-saudaranya selalu berusaha mencuri hasil ladang milik Mr. McGregor, dan perseteruan diantara mereka pun menjadi cerita inti dalam film animasi ini.

(Dok. Searching Google)

Yang menjadi renyahnya film ini, adanya tokoh lain yaitu Bea (Rose Byrne), seorang wanita cantik penyayang binatang yang begitu menyayangi Peter dan saudara-saudaranya. Bea, seorang pelukis yang tinggal di sebuah rumah tak jauh dari rumah McGregor dan pohon tempat tinggalnya Peter bersaudara. McGregor harus berusaha berpura-pura menyayangi Peter bersaudara demi mendapatkan hati Bea. Diujung cerita, Bea akhirnya tahu bahwa McGregor hanya berpura-pura menyayangi binatang dan dia sangat marah. McGregor begitu menyesali perbuatannya, menyerah dan kembali ke kota. Peter yang juga akhirnya merasa bersalah karena telah memisahkan mereka berdua, mencoba untuk memperbaiki keadaan dengan pergi ke London mengejar McGregor, meminta maaf dan mengajaknya kembali lagi ke desa.

Satu hal yang menarik perhatianku dari film animasi ini adalah setting tempatnya. Semua terlihat  begitu rindang, hijau, tenang dan sejuk. Ingin rasanya memiliki tempat tinggal seperti itu. Rumah Bea, juga menjadi perhatianku. Lantai rumahnya yang terbuat dari batu alam dan tembok-temboknya juga terlihat alami. Dia memiliki satu ruang khusus untuk menyalurkan hobinya melukis. Ingin rasanya memiliki rumah seperti itu, dengan halaman rumah yang luas dengan satu ruang khusus untuk melakukan segala kegemaran atau hobi kita dengan suasana yang begitu tenang. Tentunya yang ramah lingkungan.

(Dok. Pribadi, 2018)